Happy Reading!!!
***
“Susu, sandwich, buah. Habisin!”
Aku mendengus sebal saat Gara mengabsen sambil meletakan barang bawaannya di mejaku. Itu semua adalah bekal untukku yang Kak Mawar percayakan pada Gara termasuk obat yang harus aku konsumsi setiap hari. Dan Gara akan berlaku layaknya seorang dokter atau perawat untuk menjejaliku semua itu. Cowok itu juga yang akan memastikan aku memakan semuanya karena Gara ngeri dengan ancaman Kak Mawar.
“Gue belum lapar, Gar. Nanti aja lah,” kataku coba membujuk.
“Oke, kita ke kantin sekarang dan makan di sana bareng yang lain,” Gara hendak bangkit dari duduknya, tapi aku lebih dulu menarik tangan cowok itu, menatap Gara dengan bibir cemberut.
“Di sini aja, gue makan sekarang,” putusku pada akhirnya. Bukan apa-apa aku menolak makan di kantin, aku tidak mau orang lain curiga dengan kesehatanku. Tentu saja dengan makanan sehat yang Kak Mawar siapkan Raja yang paling peka akan mempertanyakan mengenai kondisiku, karena setahu mereka bahwa saat itu aku hanya kelelahan dan sekarang pastinya sudah sembuh mengingat itu sudah berlalu cukup lama.
“Nah gitu dong, setelah itu lo minum obat,” ucap Gara dengan senyum terukir menyebalkan karena pria itu merasa menang dengan kekeraskepalaanku.
“Gak bisa ya gue libur minum obat sehari aja?” jujur aku malas harus meneguk obat-obatan itu, karena dengan begitu aku selalu diingatkan mengenai kondisiku yang memang penyakitan.
“Gak bisa, Vio. Lo harus minum obat ini secara rutin, gue pengen lo cepat sembuh biar kita bisa main kejar-kejaran lagi. Gue kangen jahilin lo,” kedipan jahil pria itu berikan membuatku kembali mengeluarkan dengusan. Namun harus kuakui bahwa aku pun merindukan hal itu.
“Gar, kalau seandainya gue gak bisa lo jailin lagi gimana?” tanyaku serius.
“Gak apa-apa, asalkan lo sehat,” jawabnya dengan senyum. Tapi aku tidak puas dengan jawaban itu. Entahlah, aku merasa bahwa harapanku kali ini begitu kecil. Bukan harapan dalam memiliki Gara, tapi harapan hidupku. Meskipun Tuhan yang berkehendak atas nyawa semua makhluknya, tapi tidak salah bukan jika aku merasa takut akan hal ini?
Bukan tanpa alasan aku merasa pesimis. Dua hari yang lalu, saat aku memeriksakan kesehatanku, dokter berkata bahwa nyatanya obat-obatan tidak terlalu membantu. Aku harus melakukan operasi sebelum keadaanku semakin parah. Sejak saat itu aku takut akan kematian yang menjemputku. Papi memang meminta dokter untuk melakukan apa pun yang terbaik untukku, tapi aku menolak itu karena aku tahu tidak selamanya operasi berjalan lancar. Iya kalau berhasil, kalau tidak? Aku malah semakin mempersingkat hidupku. Sementara belum banyak kenangan yang aku rajut bersama Gara, bersama Kak Mawar, Papi, Mami dan sahabat-sahabatku. Aku tidak ingin meninggalkan mereka begitu saja, setidaknya ada kenangan yang akan mereka ingat jikalau aku benar-benar tiada dari dunia ini.
“Gar, lo ingat gak saat kecil dulu gue hampir mati?” tanyaku lagi, dan dapat aku lihat dengan jelas kesedihan dan juga ketakutan di mata Gara. Meskipun masih kecil, aku ingat betul saat-saat itu, saat dimana Gara meraung mendapati aku yang tiba-tiba kejang-kejang di taman bermain. Ketakutan yang aku lihat di mata Gara saat ini sama seperti bertahun-tahun lalu. Dan rasanya sesak melihat ini kembali.
“Gue ingat betul, Vi. Makanya gue gak mau sampai hal itu terjadi lagi. Gue gak mau lo tinggalin, Vi,” katanya dengan mata sendu. “Saat lo di bawa ke rumah sakit, gue lari nyusul mobil Bokap lo yang melaju begitu cepat, sampai gue jatoh berulang kali dan pada akhirnya gak bisa lagi bangun karena lutut gue luka. Bunda yang gendong gue waktu itu sampe kewalahan karena gue gak mau di ajak pulang. Berhari-hari gue nangisin lo karena gak juga pulang, sampai akhirnya Bunda bawa gue ke rumah sakit dan tangis gue malah makin kencang. Kak Ros sampai marahin gue karena berisik,” kekehan geli terdengar meskipun kesedihan masih membayang dikedua mata Gara. Untuk cerita yang ini aku belum tahu, dan begitu mendengar langsung dari Gara rasanya sakit sekali. Aku tidak tahu bahwa Gara kecil sebegitu menyayangiku. Aku terharu. Sungguh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Violeta
Teen FictionTidak akan ada yang pernah baik-baik saja ketika pengakuan hanya di anggap kekonyolan. Tiga tahun, waktu yang Vio habiskan untuk mencintai sahabatnya, namun tidak sekalipun Gara melihat keseriusannya. Gara selalu mengatakan bahwa dia tidak ingin me...