Bab 29

2.5K 113 22
                                    

Happy Reading !!!

***

Kabar Vio yang mengkhawatirkan tersebar cepat, membuat orang-orang yang semula menganggap Vio sosok antagonis di hubungan Manda dan Gara berubah jadi simpati. Dan semua itu tak lepas dari pantauan Mawar yang masih juga menggenggam ponsel milik Vio. Bahkan Mawar menangis ketika melihat video Gara yang di sebarkan entah oleh siapa di ke dalam grup.

Dan selesai dengan video itu, ponsel Vio semakin ramai oleh orang-orang yang mendoakan kesembuhan Vio. Hal yang membuat Mawar semakin menangis dan melirik ke arah pembaringan adiknya.

“Gara sayang kamu, Dek. Dia sayang kamu,” ucap Mawar tersenyum di tengah aliran air matanya. “Bangun, Dek. Dia sayang kamu. Ayo bangun, biar kamu bisa dengar Gara bilang itu. Perasaan kamu gak bertepuk sebelah tangan, Dek. Si Gara cuma kurang nyali buat keluar dari zona nyamannya sebagai teman kamu. Nyatanya sejak awal dia yang udah bucin sama kamu. Dari kecil, Dek. Gara dari kecil udah sayang sama kamu. Bangun, ya, Dek. Gara nunggu kamu, kakak, sama Papi juga nunggu kamu. Mami bentar lagi sampai. Mami panik banget waktu tahu kamu kolaps. Di tengah hadir kita yang tanpa cinta, Mami tetap sayang kita. Sayang Kakak, sayang kamu. Bangun, ya, Dek. Kita kumpul lagi kayak dulu,”

Membiarkan air matanya menetes begitu saja, Mawar tak hentinya mengajak sang adik bicara. Meminta Vio bangun. Namun Mawar memang harus menambah kesabaran karena ternyata Vio belum juga ingin membuka mata. Gadis itu masih betah dalam tidurnya. Bahkan hingga hari berlalu dan berubah menjadi minggu. Keadaan Vio masih sama. Sementara Gara semakin tak karuan. Kehidupannya hanya berputar di sekolah dan rumah sakit. Tanpa semangat dan gairah seperti biasanya.

Kedua orang tua Gara jelas bersedih melihat putranya yang bagai raga tanpa nyawa. Namun mereka tidak dapat membujuk, terlebih dengan kalimat semua akan baik-baik saja, sebab Gara jelas lebih dari tahu akan keadaan Vio sekarang. Berkali-kali menjadi orang pertama yang melihat Vio tak sadarkan diri membuat Gara tak mudah percaya akan kalimat-kalimat penenang seperti itu.

“Gar,” panggilan itu tidak sama sekali membuat Gara menoleh, karena seperti biasanya, Gara akan berdiri di samping pintu ruang rawat Vio, menatap sosok Vio dari jendela tanpa ada kata yang di ucapkan. “Maaf,” namun Gara tak juga menoleh.

Manda yang melihat itu pun tak kuasa menahan air matanya. Rasanya sakit melihat Gara seperti ini. Bukan cemburu karena Gara tak juga memalingkan muka dari Vio, tapi sakit lain yang menjurus ke prihatin. Selama ini Manda mengenal Gara sosok yang ceria, humoris, dan menyebalkan. Tapi sekarang, bahkan Gara lebih dari kata menyedihkan. Laki-laki itu benar-benar berbeda.

“Maaf udah salah paham sama lo, sama Vio. Maaf karena gue juga udah nuduh lo yang enggak-enggak. Nuduh Vio. Maaf, Gar, maafin gue. Gue gak pernah tahu kalau selama ini Vio menderita. Gue gak pernah tahu kalau selama ini Vio kesakitan. Maaf. Maaf karena gue sempat benci Vio. Maafin gue, Gar, maafin gue.”

Manda benar-benar menyesal telah berpikir yang tidak-tidak. Manda menyesal telah menuduh Vio yang tidak-tidak. Manda menyesal sudah menjadi egois. Andai ia tahu keadaan Vio sejak awal, Manda memilih mengubur rasanya untuk Gara. Manda akan memilih membiarkan Gara tetap membencinya. Membiarkan Vio yang meraih Gara.

Sejak awal Manda tidak buta, ia tahu perasaan Vio terhadap Gara. Namun Manda enggan mengakui karena bagaimanapun perasaannya terhadap Gara memang ada. Andai Manda tahu sejak awal bahwa Vio yang lebih membutuhkan Gara, Manda tidak akan menjadi seegois ini.

VioletaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang