Bab 9

903 70 10
                                    

 Happy Reading!!!

****

“Anggara nyebelin!” kesalku saat cowok itu lagi-lagi menjahiliku. Wajah galau yang pagi tadi diperlihatkannya sudah hilang entah ke mana, sekarang cowok nyebelin itu sudah bisa mengusikku lagi. Membuatku kesal karena tidurku di ganggu olehnya.

Aku memang memutuskan untuk tidur saat kabar mengenai guru yang akan mengajar tidak datang di sampaikan si ketua kelas. Tapi sayang, rencana tidurku harus gagal oleh si pengganggu.

Dengan tidak berprikemanusiaannya, Gara menyentil keningku cukup keras, membuatku yang baru saja memejamkan mata terlonjak kaget dan tentu saja meringis sakit, sementara Gara dan teman-teman menyebalkannya tertawa terbahak, seolah aku adalah hiburan dikala sepi mereka. Sialan emang.

“Di sekolah itu belajar, Vi, bukannya tidur. Lo pikir ini hotel!” ujarnya menyebalkan. Disaat seperti ini Gara seperti orang benar saja. Padahal biasanya dia juga mengorok bahkan hingga bel pulang berbunyi. Ingin sekali aku menjedotkan kepala Gara biar laki-laki itu bisa intropeksi.

“Lo juga. Ingat woy ini sekolah bukan panggung komedi,” balasku mendelik pada Gara yang berada di depan kelas bersama teman-temannya yang sudah berada di posisi masing-masing untuk melakukan penampilan absurd-nya setelah mengganggu acara tidurku.

Memang begitulah cara murid-murid di kelasku mengisi jam kosong. Mereka taat aturan untuk tidak keluar dari kelas dan nongkrong tidak jelas di kantin atau mengacau kelas lain yang sedang belajar. Tapi tetap saja, berada di kelas pun mereka tidak tinggal diam, karena kelas selalu saja berubah jadi aula pertunjukkan. Entah itu komedi, ajang tembak-tembakan, menyanyi atau acara lainnya. Bagi mereka yang penting tidak sepi.

“Gue gak ngelawak, Vi!” protes Gara tak terima karena merasa bahwa dirinya memang tidak sedang menunjukkan suatu komedi. Tapi bagiku apa pun yang Gara dan teman-temannya lakukan tetap saja aku sebut sebagai melawak. Karena apa? Karena setiap tingkah mereka selalu menjadi bahan tertawaan yang lain, salah satunya aku.

“Terus apa dong namanya kalau bukan ngelawak? Nyanyi? Suara kayak panci rombeng mana bisa di sebut nyanyi,” ejekku memutar bola mata, dan itu berhasil membuat kekesalan Gara naik kepermukaan. Aku tidak peduli, toh apa yang aku katakan tidak salah. Suara Gara memang sehancur itu, kok, meskipun wajah tampannya harus aku acungi jempol.

“Suara itu nomor sekian, Vi, yang penting gue ganteng,” kilahnya membela diri.

“Ganteng juga buat apa kalau berisik,” balasku tak mau kalah.

Teman-teman yang lain menatapku dan Gara bergantian. Sudah mengira-ngira bahwa sebentar lagi akan ada perang atau saling kejar seperti biasanya. Dan, ya, itu memang benar adanya, karena tidak lama setelah itu Gara mulai bangkit dari duduk diantara teman-teman gilanya, berjalan menuju ke arahku. Dan aku pun sudah berancang-ancang untuk lari, menghindari gelitikan Gara yang selalu menjadi andalannya dalam menyerangku.

“Gue gak berisik lo kesepian, Vi,” kata Gara masih terus berjalan untuk menggapaiku yang juga sedang berjalan menghindari pria itu. Hingga kemudian saling berkejaran pun terjadi seperti yang sudah penghuni kelas prediksikan. Tidak ada yang mau melerai kami, karena pemandangan ini sudah biasa. Justru mereka senang saat aku dan Gara main kejar-kejaran seperti ini. Meraka jadikan hiburan untuk menghilangkan kebosanan.

Biasanya aku akan kuat berlari lama-lama untuk menghindari Gara hingga tubuhku basah oleh keringat. Tapi kali ini aku tidak mampu meneruskan lariku, bahkan sebelum putran kedua mengelilingi kelas habis, tubuhku jatuh di salah satu kursi yang tidak jauh dari posisiku berdiri. Dadaku begitu sakit dan keringat dingin mulai mengucur di pelipis dan leherku. Mataku mengabur dan tenggorokanku rasanya tecekat.

VioletaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang