Bab 8

1K 81 18
                                    

Happy Reading!!!

***

“Vio, Vio … Vio main yuk,” teriak Gara di depan rumah, mengganggu dengan keberisikannya itu, membuat Kak Mawar yang sedang sarapan denganku dan Papi mendengus kesal seraya berjalan menghampiri Gara di depan dan omelannya terdengar hingga meja makan. Aku hanya terkekeh saja mendengar sahabat lelakiku itu di omeli. Ingat bukan bahwa aku paling senang saat Gara tengah sengsara?

 “Tumben Gara teriak-teriak di luar, biasanya numpang sarapan terus,” kata papi heran.

“Masakan Bunda Alma lagi enak kali, Pi, makanya Gara gak numpang lagi,” kekehku yang langsung di angguki papi. Lalu tak lama kemudian Gara masuk dengan wajah cemberutnya di belakang Kak Mawar. Sesekali sahabatku itu mencebikan bibir dan mendumel tanpa suara. Membuatku tak tahan untuk tidak tertawa.

“Diem lo!” deliknya ke arahku.

“Gak usah beratem!” lerai Kak Mawar dengan pelototan galaknya. Membuat Gara ciut dan menundukkan kepalanya. Sudah percis seperti kucing yang kena marah majikan.

“Dasar Nenek lampir,” cibirnya dengan nada suara yang begitu pelan, tapi berhubung Gara duduk di kursi sebelahku, jadilah aku masih dapat mendengarnya. Dan langsung saja kuinjak kakinya hingga ringisan itu terdengar di susul dengan desisan protesnya yang aku abaikan dengan terus melahap nasi goreng yang masih tersisa di piringku.

“Gak makan Gar?” tanya papi pada Gara yang hanya duduk diam tidak seperti biasanya.

“Gak Om, Gara udah makan di rumah tadi,” jawab Gara seperti dugaanku.

“Tumben mau,” cibir Kak Mawar.

“Di paksa,” jawabnya dengan lesu, membuatku dan Kak Mawar tertawa, sementara Papi hanya geleng kepala. Bukan rahasia lagi memang jika Gara selalu melarikan diri dari rumah jika sang bunda sudah menyuruhnya makan. Bukan karena tidak lapar, tapi menurut Gara masakan mamanya kurang enak. Entah itu keasinan, kurang garam bahkan terasa aneh. Anak durhaka memang, tidak menghargai usaha ibunya sendiri.

Lima menit kemudian aku selesai dengan sarapanku dan susu putih hangat yang kak Mawar siapkan sudah tandas aku minum. Setelahnya aku bangkit dari dudukku dan mengambil persediaan susu kotak milikku untuk aku bawa ke sekolah, tidak lupa beberapa buah dan juga roti. Itu menu wajib yang harus setiap hari aku bawa karena sejak dulu Mami selalu membekaliku, katanya agar aku tidak kelaparan. Dan kebiasaan itu ada hingga saat ini, walau mami sudah tidak lagi berada di rumah ini.

“Aku berangkat sekolah dulu, Pi. Papi jangan lupa istirahat dan makan siangnya,” ucapku seraya mengecup pipi Papi dan menyalami tangannya.

“Hati-hati sayang,” balas Papi mengecup pipi kiriku. Aku mengangguk dan beralih pada Kak Mawar, melakukan hal yang sama sebelum kemudian menarik Gara keluar dari rumah untuk berangkat sekolah karena waktu terus berjalan di tambah dengan hari ini adalah senin dimana upacara di adakan dan terlambat bukanlah sesuatu yang bijak.

Sepanjang perjalanan aku mau pun Gara tidak banyak bicara, bahkan hingga tiba di sekolah. Aku juga tidak tahu ada apa dengan Gara, laki-laki itu tiba-tiba menjadi pendiam seperti ini, padahal biasanya selalu saja mengajakku perang. Apa mungkin karena sarapan ibunya? Tapi mana mungkin, memangnya tante Alma masak apa sampai membuat Gara yang berisik jadi kalem.

“Lo sariawan, Gar?” tanyaku yang tak tahan dengan kebisuan ini.

“Gak,” jawabnya sesingkat itu, membuatku menaikan sebelah alis dan berjalan menghadap cowok itu yang wajahnya sedikit mendung. Apa mungkin gara-gara omelan Kak Mawar? Aku dengan cepat menggeleng. Itu tidak mungkin, Gara sudah kebal dengan omelan Kakak cantikku.

VioletaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang