Happy reading!!!
***
“Tunggu gue latihan futsal dulu, ya?” kata Gara begitu bel pulang berbunyi. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban lalu kembali melanjutkan membereskan alat-alat tulisku yang ada di meja ke dalam tas. “Kalau gitu sekalian beresin buku-buku gue. Gue mau ke kantin dulu beli sajen lo,” lanjut Gara seraya bangkit dari duduknya dan berlari keluar dari kelas tanpa menunggu penolakanku lebih dulu. Aku berniat menolak karena saat ini aku tidak sama sekali berselera untuk mengemil. Aku tidak lapar.
“Ja, lo gak mau lari ke kantin juga?” Melody menoleh ke belakang dimana bangku Raja berada.
“Buat apa?” alis Raja terangkat sebelah. Bingung.
“Ck, emang dasar lo gak peka!” dengus Melody memutar bola matanya malas. “Ya jelas beli camilan buat gue lah. Lo kira nunggu lo selesai futsal gak lapar apa!”
“Gue gak minta lo nunggu,” ujarnya tak peduli.
“Ya tapi kan gue calon pacar yang baik, Ja, masa iya gak nungguin. Lagi pula gue kan tadi pagi berangkat bareng lo, jadi pulangnya juga harus sama lo,” cengir Melody yang tidak sama sekali menghiraukan kecuekan dan keketusan Raja. Untuk kekeraskepalaannya aku acungi jempol, dan rasanya aku ingin meniru sikap Melody itu. Tapi aku tidak bisa, aku terlalu lemah dan perasa meskipun sejauh ini aku masih tegar.
“Serah lo!” Raja melengos pergi, dan Melody yang tentunya tidak ingin ketinggalan segera mengejar Raja. Aku hanya menggeleng kepala melihat kepergian kedua temanku itu dan memilih memasukan buku-buku Gara yang berserakan di meja ke dalam tasnya sambil menunggu si pemilik kembali dari kantin.
“Gue liat-liat dia masih memperlakukan lo kayak dulu,” Ervan membuka suara. Ya cowok itu masih berada di dalam kelas, sibuk dengan game di ponselnya. “Minus jahilnya,” ralat Ervan di detik setelahnya. “Biasanya kalian gak ada hari tanpa kejar-kejaran saling teriak dan memaki. Sekarang kayaknya dia lebih lembut?” kening Ervan berkerut dalam dan aku memilih memalingkan wajah, bingung harus menjawab apa karena semua itu hilang setelah penyakitku kembali.
Gara benar-benar menepati janjinya untuk bersikap lebih baik padaku. Tidak ada kejahilan yang cowok itu lakukan untuk menjahiliku semenjak hari itu. Namun jika boleh jujur aku merindukan itu. Aku rindu memaki Gara, berteriak dan menjahilinya yang berakhir saling berkejaran. Di saat-saat seperti itu tawaku seperti lepas dan aku merasa dekat dengan cowok itu. Sekarang semanis apa pun sikapnya, perhatian dan sebaik apa pun sikap Gara nyatanya malah membuatku merasa jauh. Ada tembok yang membatasi kami dan ada sekat yang tidak bisa aku singkirkan. Selain karena adanya Manda di hidup Gara sekarang, aku juga tidak percaya diri karena penyakit yang aku derita.
“Mungkin dia udah tobat nyari gara-gara sama gue,” aku mengedikkan bahu, pura-pura tidak tahu dengan alasan Gara. “Lo gak ikut latihan?” tanyaku saat Ervan ternyata tidak juga menghentikan permainan di ponselnya.
“Males,” jawabnya singkat. “Mendingan godain cewek dari pada latihan futsal.”
Pletak.
Satu jitakkan aku layangkan di keningnya. “Tobat lo, Van, kasian mereka. Yang lo mainin itu hati bukan bola bekel yang di lempar mantul gak ada rasa sakitnya. Gue tahu lo pernah kecewa, tapi bukan seperti ini cara ngelampiasinnya. Yang mainin hati lo itu dia, dan harus lo ingat bahwa gak semua cewek kayak dia.”
Aku menepuk pundak Ervan berkali-kali lalu menarik cowok itu untuk berdiri dan ke lapangan bersama. Di tengah jalan aku bertemu dengan Gara dan Manda yang sepertinya sudah dari kantin. Tangan Gara yang merangkul pundak Manda membuat hatiku sesak, tapi sebisa mungkin untuk aku sembunyikan. Lagi dan lagi untungnya aku tidak sendiri, jadi tidak terlalu terlihat menyedihkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Violeta
Teen FictionTidak akan ada yang pernah baik-baik saja ketika pengakuan hanya di anggap kekonyolan. Tiga tahun, waktu yang Vio habiskan untuk mencintai sahabatnya, namun tidak sekalipun Gara melihat keseriusannya. Gara selalu mengatakan bahwa dia tidak ingin me...