Plak!
Satu tamparan melesat hebat di pipi kanan Defras. Sedangkan sang pelaku, kini sedang mengatur deru nafas yang berantakan. Emosi. Bagaimana tidak, baru saja Jose pulang dari Buitenzorg sudah ditodong oleh anaknya agar direstui untuk melamar sang kekasih.
"Apa kamu sudah tidak waras?! Kita berbeda dengan para inlander itu! Harus berapa kali Papa katakan, kamu tidak pantas dengan gadis pribumi manapun. Mengerti?"
Dengan kepala tertunduk, Defras tersenyum lirih. "Lalu kenapa Papa bisa menikahi Mama? Bukankah Mama juga gadis pribumi, sama seperti Reta?"
Jose terdiam lalu menatap datar anaknya. "Lebih baik Papa menghabisi nyawamu, dari pada melihat kamu bersanding dengan kaum yang setara dengan anjing penjaga"
"Apapun yang Papa katakan, saya akan tetap melamarnya. Saya akan menikahinya. Dan jika Papa ingin membunuh darah daging Papa sendiri, silakan! Saya akan menunggunya"
Setelah perang dingin dengan ayahnya sendiri, Defras segera menuju kamarnya. Ia menendang kaki ranjang sambil mengumpat pelan. Deru nafasnya tidak beraturan.
Sebenarnya sulit sekali jika harus memilih antara Retania atau ayahnya. Mereka berdua orang yang sangat Defras sayangi. Tapi ego ayahnya terlalu keras. Ia tak menyukainya.
Beberapa saat terdiam, kemudian Defras menarik kursi dan duduk di hadapan meja disamping ranjang. Ia membuka laci dan mengambil beberapa lembar kertas yang warnanya sudah sedikit menguning.
Defras mengambil botol kecil berisi tinta dan sebuah pena. Sebelum benar-benar menorehkan apa yang akan ditulisnya, pandangannya menerawang langit malam melalui jendela yang terbuka dalam kamarnya.
Laki-laki bermata coklat kehijauan ini melintingkan kemeja putihnya hingga sebatas sikut. Punggungnya, ia condongkan sedikit ke depan untuk mendapatkan posisi yang nyaman sebelum menulis.
Setelah mendapatkan kata-kata yang tepat, Defras segera mencelupkan ujung pena ke dalam tinta. Perlahan namun pasti, kertas kosong berwarna gading itu mulai memunculkan kalimat yang bergumul di dalam kepala Defras.
Malam pekat, kini mulai bergilir menjadi cahaya fajar dari ufuk timur sana. Cukup banyak remasan kertas yang tercecer disekitar meja, bahkan tinta yang ada pada botol kecil itu tinggal setengahnya.
Dengan senyum yang mengembang, Defras melipat dua lembar kertas yang sudah tersusun kalimat apik di dalamnya.
"Bersabarlah. Sebentar lagi tidak akan ada yang memisahkan kita. Apapun itu" Gumamnya seraya memandangi lipatan kertas di tangannya.
*****
Di kamarnya, Retania sedang duduk sambil menyisir rambut hitamnya yang bergelombang. Ia menatap wajah pucatnya di cermin. Selama hidupnya, baru kali ini ia mempunyai kulit sepucat mayat. Mengerikan.
Lalu ia membuka laci nakas untuk mengambil arloji. Retania memandangi benda tua yang diberikan oleh ayahnya itu. "Aku emang engga pernah paham, sama yang namanya waktu"
"Nduk.." Seiring panggilan lembut itu, Laksmi masuk dan duduk ditepi ranjang. Wanita tersebut tersenyum sambil mengusap rambut keponakannya yang tergerai.
"Bapakmu sedang bertemu dengan abdi dalam ke-"
"Bude" Retania memutus ucapan Laksmi sambil menatapnya jengah. "Reta tidak mau dengar apapun soal itu"
Laksmi menghela nafasnya pelan. Ia kembali mengelus rambut Retania. "Nduk, Bude melarang bukan tanpa sebab. Bude hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Untuk kita semua"
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIR PERMULAAN [SELESAI]
Historical FictionIni hanyalah sebuah kisah cinta dua manusia dari zaman yang berbeda. Kisah cinta yang membutuhkan banyak pengorbanan dan penantian di dalamnya. Perbedaan budaya, kesetaraan, dan keyakinan tak membuat mereka menyerah pada perjuangan tersebut. Meskipu...