Pagi menjelang siang, beberapa orang mulai berkerumun disamping rumah Jaka. Mereka saling berbisik saat melihat seorang wanita paruh baya menangis hebat dihadapan beberapa tentara Nederland yang rutin untuk menagih pajak mingguan.
"Kembalikan suamiku! Aku mohon kembalikan.." Pintanya disela-sela isak tangisnya.
Jaka yang berada diantara kerumunan ikut menyaksikan juga namun tak lama kemudian langkahnya mulai mundur perlahan. Hingga akhirnya ia berbalik dan berlari menyusuri jalanan tanah tanpa alas kaki.
Dengan rasa kesal dan sedih yang bergumul dalam dada, Jaka terus berlari sekuat tenaga. Hingga langkahnya terhenti setelah sampai di depan sebuah rumah.
"Yana, mana Teteh kamu?" Tanya Jaka cepat saat melihat Yana baru saja keluar dari pintu utama rumahnya.
"Yana juga mau mencari. Teteh tidak ada di kamarnya, padahal kemarin magrib masih ada" Jawab Yana membuat kepala Jaka semakin penat.
"Bude Laksmi tau? Lalu Bapakmu?" Tanya Jaka berikutnya.
Yana mengangguk. "Bude sedang menuju rumah Tuan Jose, kalau Bapak sedang ada urusan dan berkunjung ke Surakarta"
"Cari Reta sampai ketemu" Jaka menepuk bahu Yana lalu pergi mulai mencari sang sahabat.
Jaka terus menyusuri jalanan, ia berjanji pada diri sendiri tidak akan berhenti melangkah sebelum menemukan Retania. Hingga di kelokan berikutnya, ia berpapasan dengan Wira.
"Wira, kamu lihat Reta tidak?" Tanya Jaka setelah menghentikan langkah pemuda tersebut.
"Tidak" Jawab Wira singkat.
"Reta!" Panggil Jaka setelah mellihat Retania dan Defras muncul dari arah belakang Wira. Kebetulan sekali.
Dengan segera, Jaka berlari menghampiri dua sahabatanya itu, disusul Wira mengikutinya. Empat insan tersebut bertemu dalam diam. Hingga Jaka buka suara terlebih dahulu.
"Kamu dari mana saja? Jaka waswas dengan keadaanmu, Ta!" Omel Jaka dengan nada sedikit tinggi sambil memegang kedua pundak Retania.
Lalu tatapannya teralih pada Defras.
"Tuan, aku ingin bicara sebentar" Ucapnya mengajak Defras menjauh dari Retania dan Wira. Setelah menjaga jarak agar tak ada yang mendengar obrolan, barulah mereka berdua berbincang hingga Retania tak dapat mendengar suaranya.
Kini tinggal Retania dan Wira berdua. Untuk sesaat gadis itu ragu untuk menatap mata Wira, namun rasa penasarannya terlalu kuat. Hingga akhirnya ia memberanikan diri untuk memgangkat kepalanya, memandamg wajah Wira.
Semenjak pertemuannya dengan pemuda tersebut tempo hari, banyak sekali pertanyaan yang ada di kepala Retania siap untuk diluncurkan.
Mulai dari keanehan beberapa gambar bangunan tinggi yang terpampang di dinding saung, setaunya beberapa bangunan tersebut belum ada pada zaman ini. Hingga ucapan Wira yang menyinggung soal peradaban zaman. Menurutnya itu cukup janggal.
"Kamu siapa?" Dari sekian banyak pertanyaan, kalimat itulah yang keluar dari mulut Retania.
Wira hanya tersenyum tipis mendengarnya. "Nataprawira"
Retania berdecak jengkel mendengarnya, ia celingak-celingkuk untuk memastikan tidak ada orang selain mereka berdua di tepi kebun ini. Perlahan ia melangkah, berdiri tepat di hadapan Wira.
"Aku yakin, kamu tau maksud pertanyaan aku apa" Ucap Retania pelan walau penuh dengan penekanan.
Wira menghela nafasnya sesaat dan kembali tersenyum. "Hiduplah sesuai zaman yang kamu-"
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIR PERMULAAN [SELESAI]
Historical FictionIni hanyalah sebuah kisah cinta dua manusia dari zaman yang berbeda. Kisah cinta yang membutuhkan banyak pengorbanan dan penantian di dalamnya. Perbedaan budaya, kesetaraan, dan keyakinan tak membuat mereka menyerah pada perjuangan tersebut. Meskipu...