36. Menjadi Sasaran

739 95 2
                                    

Setelah adiknya yang menjadi sasaran dari iblis putih, kini giliran sang kakak selanjutnya. Para tentara yang berhasil menghabisi nyawa Yana dan Elizabeth, sekarang beralih untuk mencari Retania dan Defras yang ternyata tengah bersembunyi dibalik tebing.

Defras masih membekap mulut Retania yang hendak berteriak untuk memaki tentara yang telah membunuh adiknya tadi. Sedangkan dengan kilat marah dimatanya, gadis tersebut terus meronta ingin dilepaskan. Bodoh saja jika Defras mengikuti keinginan gadisnya.

Setelah situasi dirasa aman, Defras melepaskan bekapan dari mulut Retania. Pemuda ini menarik kedua bahu sang kekasih hingga berhadapan dengannya. Ia memandang Retania kesal.

"Apa kamu mau bunuh diri?!" Geramnya tertahan.

Kedua mata Retania yang memerah mulai bergulir resah. Dia segera memeluk tubuh Defras erat. Sangat erat. Seakan tak mau melepasnya lagi. Nafasnya terdengar memburu dan keringat tak hentinya bercucuran dari wajah gadis tersebut.

"Van, Van, aku tidak mau mati! Tidak mau! Aku harus pulang! Antar aku pulang sekarang juga! Van.. ayo kita pulang.." Layaknya orang gila, Retania terus meracau ketakutan, dan diakhiri dengan tangisan pilunya.

Kedua kaki gadis itu terus dihentak-hentak pada tanah yang dipijaknya dan tangisan tanpa suara itu semakin membuat Defras sangat frustasi ketika mendengarnya.

Iya, Defras mengerti. Siapa yang tidak gila jika melihat kerabat sendiri diambil nyawa dengan cara keji seperti barusan? Tidak ada. Siapapun yang melihatnya pasti akan begini.

Disela-sela tangisan Retania, Defras menangkup kedua pipi gadis tersebut. Ia menundukkan sedikit kepalanya, mendekqtkan wajahnya dengan gadia tersebut. Hingga pelan tapi pasti bibir keduanya bertaut sempurna. Membuat tangisan Retania terhenti seketika.

Kedua pasang mata itu, kini saling berpandangan. Mengutarakan kekhawatiran yang dirasakan oleh masing-masing dan mencari keteguhan yang tersisa untuk saling menguatkan.

Melihat Retania hanya diam terpaku, Defras mendorong pelan tubuh gadis itu sampai terhimpit diantara dirinya dan tebing yang ada di belakang. Defras semakin memperdalam ciumannya seraya memeluk tubuh mungil itu erat.

Sedangkan Retania kini memejamkan kedua matanya, merasakan suhu panas menyapu bibirnya yang pucat. Ini adalah ciuman pertama mereka setelah bertahun-tahun bersama. Dan ciuman kedua bagi Retania selama hidupnya.

Perlahan, ciuman lembut nan dalam itu terputus. Nafas mereka berdua yang berantakan saling bertubrukan ke wajah masing-masing. Defras kembali menunduk, menyatukan dahinya dan dahi Retania. Menyatukan keringat mereka berdua, dan menyatukan nasib yang serupa. Sebagai tawanan di tanah kelahiran sendiri.

"Kamu, percaya kan kalau kita akan keluar dari situasi ini?"

Mendengar pertanyaan lirih itu, perlahan kedua sudut bibir Retania menukik ke bawah. Ia mengangguk sambil menahan genangan air di pelupuk matanya.

"Iya. Aku percaya.."

Defras tersenyum tipis melihatnya. Baguslah, setidaknya Retania masih punya keyakinan hidup walau hanya setitik. "Kita coba kembali ke pemukiman, semoga saja sudah aman. Ayo"

Kini mereka kembali menyusuri pinggiran hutan untuk menuju ke jalan utama dekat perkebunan dan pesawahan. Sejauh mata memandang, tidak ada satu orangpun yang melintas. Hanya ada perabotan bercecer dan kandang ternak yang sudah tak berbentuk. Sangat berantakan.

Ketika sedang menyebrangi jalan, tiba-tiba muncul sebuah mobil jeep tua dari ujung sana. Defras dan Retania terpaku melihatnya, mereka terjebak. Untuk kaburpun itu mustahil. Gawat.

AKHIR PERMULAAN [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang