Ketika keheningan mulai menyergap kembali, Retania memutar tubuhnya. Ia menyusuri jalanan tanah berbatu itu dengan langkahnya yang mungil. Memunggungi Defras yang masih setia memperhatikannya dari belakang.
"Tapi aku tidak mencintai laki-laki itu. Yang aku cintai adalah.. seseorang yang sedang bersamaku sekarang" Ungkap Retania tiba-tiba.
Defras yang kini sudah jalan beriringan, kembali menatap Retania tidak percaya. Gelapnya malam ini menjadi saksi balasan cinta tak langsung dari gadis tersebut pada dirinya.
Kini mereka berdua menghentikan langkah dan sudah berhadapan saling memandang sepasang manik indah satu sama lain. Kemudian Retania mencoba memberanikan diri untuk bicara.
"Bolehkah.. aku sedikit egois untuk kali ini saja? Bolehkah aku mendengar kalau Van merindukanku, meski itu tidak sungguhan? Tidak tulus juga tidak apa-apa"
Lagi-lagi hanya suasana hening yang menyergap, bahkan suara jangkrik dan serangga malam lainnya ikut sedikit senyap. Ketika pemuda tampan ini hanya bisa membisu tak menjawab ucapan sahabatnya.
Merasa terabaikan, Retania tersenyum miris melihat ekspresi Defras tak menentu. "Tidak apa-apa, jangan dipaksa. Aku paham, perasaan memang tidak seharusnya dipaksakan. Kalau Van tidak mempunyai rasa yang sama denganku, aku minta padamu jangan membuatku leb-"
"Saya merindukanmu" Sela Defras cepat. Namun sebelah alisnya terangkat sebelah setelah melihat reaksi gadis di hadapannya.
Retania terkekeh pelan sambil memandang luasnya hamparan sawah yang cukup gelap. "Kan sudah kubilang, jangan dipaksa kalau tid-"
"Saya merindukanmu," Defras kembali menyelanya. "Dan saya mencintaimu, Retania. Jika bisa saya ingin dilahirkan kembali sebagai seorang inlander, bukan seorang dari bangsa yang menjadi musuh negerimu sendiri. Jadi, tidak akan sulit jika aku ingin bersamamu"
Mendengar itu, Retania berbalik menatap kedua mata Defras yang sudah lebih dulu memandangnya. Ia kembali tersenyum tipis. "Tidak ada gunanya kamu menyalahi takdir"
Defras menghela nafasnya panjang. "Ya, kamu benar. Kalau begitu apa saya boleh memelukmu? Untuk terakhir kalinya? Tidak lama, sebentar saja. Saya janji" Ungkapnya sedikit ragu.
Mendengar itu, Retania mengangguk dengan senyumannya yang lebar. Membuat Defras langsung merengkuh tubuh mungil itu. Ia mengangkat dan memutarnya, sampai-sampai terdengar jelas suara tawa nyaring dari bibir mereka berdua.
"Saya mencintaimu" Ulang Defras setelah kedua kaki Retania sudah kembali memijak tanah. "Sangat mencintaimu" Bisiknya tepat ditelinga sang gadis.
Retania terkekeh geli saat deru nafas lelaki itu menyapa telinganya. Sekali lagi ia peluk Defras cukup erat, menyandarkan kepalanya pada dada bidang berbalut kemeja biru itu.
"Aku juga mencintaimu, sangat. Defras Eugenius Van Hoevell"
Mendengar nama lengkap dirinya, Defras mengurai pelukan lalu menangkup kedua pipi Retania sambil tersenyum. "Kamu ingat nama lengkap saya?"
Retania memperlihatkan deretan giginya pada Defras seraya mengangguk mantap. "Ya. ku sudah mengingatnya, Tuan"
Defras kembali tersenyum. Ia menempelkan dahinya dan dahi Retania, membuat keduanya saling menutup mata. Merasakan deru nafas satu sama lain yang begitu hangat.
"Terimakasih. Saya sangat senang mendengarnya, Nona"
"Mr. Defras, wat doet u hier?" Seru tentara Nederland bertopi loreng, menanyakan apa yang sedang Defras lakukan.
Retania dan Defras langsung menoleh kaget ke arah sumber suara, menatap dua tentara Nederland yang tiba-tiba muncul dari ujung jalan sana sambil menenteng senapan laras panjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIR PERMULAAN [SELESAI]
Historical FictionIni hanyalah sebuah kisah cinta dua manusia dari zaman yang berbeda. Kisah cinta yang membutuhkan banyak pengorbanan dan penantian di dalamnya. Perbedaan budaya, kesetaraan, dan keyakinan tak membuat mereka menyerah pada perjuangan tersebut. Meskipu...