32. Masa Yang Lain?

746 99 4
                                    

Setelah satu tubuh tak bernyawa tergeletak, nyawa-nyawa lain yang masih bersarang dalam tubuh berhamburan meninggalkan asrama. Mereka semua berusaha menjauh dan menyelamatkan diri dari kemunculan pasukan Nederland yang datang secara tiba-tiba.

Begitupun dengan Retania, dengan cepat Cipto meraih tangan gadis itu dan menyerahkannya pada Defras. "Tolong jaga anakku"

Setelah mengatakan hal tersebut, Cipto kembali ke asrama untuk menghampiri ketiga anaknya dan Laksmi. Membuat raut tak rela muncul pada wajah manis Retania yang masih pucat.

"Bapak!" Panggilnya, berusaha mengejar Cipto.

Namun dengan cepat, Defras mencekal lengan gadis tersebut. Ia segera menarik dan membawa Retania ke tempat yang lebih aman. Entah kemana itu, yang terpenting jauh dari tentara sebangsanya yang sedang kemasukan setan.

Suara dentuman dan suara tembakan kembali terdengar begitu nyaring disekitar asrama. Bahkan suara teriakan dengan berbahasa Belanda juga tak kalah menggelegar disana. Bangsa itu seperti sedang menangkap anak itik yang berhambur kesana kemari.

Kini Defras dan Retania sudah berlari menjauhi asrama. Mereka terus menelusuri jalan bebatuan menuruni bukit itu. Namun tiba-tiba Retania tersungkur seiring dengan suara tembakan terdengar jelas dari belakang sana, membuat langkah mereka tersendat.

Defras berjongkok dan segera membantunya berdiri. "Akh! Kamu tidak apa-apa? Ayo bangun" Ringisnya sembari menyentuh betis bagian belakangnya.

Lelah. Itulah yang dirasa Retania saat ini. Ia ingin kembali ke asrama dan mengajak ayah juga adiknya berlari. Namun hanya tangisan yang keluar dari mulutnya.

"Bapak.. aku harus bawa Bapak juga" Lirihnya disela-sela isak tangis.

Tanpa berpikir apapun, Defras berjongkok di depan Retania. "Naiklah. Setelah menemukan tempat yang aman. Kita cari Paman Cipto dan yang lain. Cepat"

Meski masih menangis, dengan gerakan lemah Retania menaiki punggung Defras dan memeluk leher pemuda tersebut. Setelahnya, Defras berdiri. Berlari kecil dengan sedikit terpincang, sembari menggendong Retania di punggungnya.

Malam gelap, kini mulai berangsur menemui subuh. Kokok ayam terdengar dibeberapa kandang yang ada dipinggir jalan. Tanpa lelah, Defras masih menggendong Retania yang kini mulai sedikit tenang.

"Van, kita mau kemana?" Tanya Retania lesu. Energinya seperti menguap entah kemana.

Defras berhenti sesaat dan membenarkan posisi Retania di punggungnya. Lalu lanjut berjalan pelan masih dengan sedikit terpincang.

"Kemana saja, yang penting aman"

Retania tersenyum kecil mendengarnya. "Aku sudah sering mendengar itu darimu. Aku ingin jawaban yang lain"

Defras ikut tersenyum. Ia menoleh ke arah kanan dan kirinya, takut-takut ada yang mengintai. Ternyata hanya ada kebun pisang dan beberapa gubug perternakan. Sunyi sekali.

"Lalu, apa yang ingin kamu dengar? Dari saya"

Sebelum menjawab, Retania mengeratkan pelukannya pada leher Defras. Meminta sedikit kehangatan ketika tubuh bagian belakangnya tertusuk udara dingin sedari tadi malam.

"Aku.. ingin jawaban yang pasti. Jawaban hanya kita berdua yang punya" Lirih Retania pelan.

Defras kembali terkekeh. "Umm. Kalau begitu, bagaimana jika kita pindah ke masa yang lain?"

Deg.

"Disana hanya ada saya dan kamu, tidak ada orang lain yang akan memisahkan. Bagaimana? Sepertinya menyenangkan"

AKHIR PERMULAAN [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang