05. Sosok Dua Zaman

1.7K 190 8
                                    

Indera pendengaran Retania tiba-tiba menuli, lidahnya ikut kelu, bahkan wajah manisnya terlihat memucat. Sepanjang hidupnya, Retania tidak pernah menyangka kalau dirinya akan menikah diusia semuda ini.

Lebih tepatnya dipaksa menikah, dijodohkan, atau apalah itu namanya, sama saja.

Yana tertunduk lesu mendengar penuturan Laksmi tentang keputusan tersebut. Ia tidak sampai hati melihat ekspresi terkejut dari sang kakak. Tapi bagaimanapun juga ia tidak bisa membantu jika sudah menyangkut perihal adat istiadat keluarga.

"M-maksudnya?" Retania heran. Ia harus memastikan kalau telinganya tidak salah dengar.

"Iya nduk, kamu akan menikah dengan calon Sri Susuhunan Pakubuwono"

Oke, saat itu juga ingin rasanya Retania membanting meja pada wajah Laksmi yang terlihat menyebalkan. Ini bukan zaman Siti Nurbaya yang bisa dengan mudahnya main jodoh-jodohkan orang begitu saja.

"Tunggu, k-kenapa harus Reta? Tapi umur Reta masih 19 tahun kan? Masih muda. Reta masih ingin sekolah" Sela Retania berusaha membela diri. Wanita itu tidak bisa berbuat seenak jidatnya.

Laksmi meraih kedua tangan Retania dan menepuknya pelan. "Nduk, kamu itu sudah cukup umur untuk menikah. Dengar, perempuan itu mau sekolah atau tidak sama saja, akan berakhir mengurusi kasur, dapur, dan sumur. Lagipula apa kamu mau menimba ilmu dari penjajah negeri sendiri, hm?"

Retania terdiam, untuk yang ini otaknya tiba-tiba buntu. Ia sulit hanya sekedar untuk beralasan. Dan hal tersebut sukses mengukir seulas senyuman di wajah senja Laksmi.

"Dengar nduk. Tuan Defras memang terlihat baik, tapi apa kamu tidak lihat bagaimana sikap Londo lainnya terhadap masyarakat pribumi? Perlahan mereka menggerogoti kesejahteraan kita, nduk" Jelas Laksmi membuat Retania semakin mematung.

"Para londo memang membuatkan sekolah dan bangunan lainnya untuk pribumi, tapi itu semata-mata hanya untuk mereka sendiri. Jikalau ada pribumi yang disekolahkan, itu juga untuk membantu mereka yang semakin menginjak-injak harga diri tanah air ini, nduk"

Kedua bola mata Retania terus bergulir seiring dengan kata demi kata yang Laksmi tuturkan. Belanda adalah penjajah yang mendiami ibu pertiwi dengan kurun waktu yang tidak sebentar. Ya, tentu saja Retania sangat mengetahui hal tersebut dari guru sejarahnya saat sekolah.

"Tapi.. Bude tidak bisa menjodohkan Reta begitu saja, Reta berhak memiliki pilihan sendiri" Tukas Retania untuk kesekian kalinya. Bagaimanapun ia harus membela dirinya sendiri.

"Nduk, kita ini perempuan. Dan takdir perempuan adalah dipilih, bukan memilih"

Belum sempat Retania membalas ucapan Laksmi, pintu depan utama sudah diketuk cukup kencang. Membuat ketiga adik Retania yang fokus menguping, sedikit terlonjak kaget mendengarnya.

"Diam disini, jangan keluar" Ucap Laksmi sebelum meninggalkan Retania ke pintu utama.

Laksmi segera membuka pintu dan menghentikan ketukan kasar yang menyambangi rumahnya. Terlihat seorang pria dewasa bule yang dikawal oleh dua pria pribumi lainnya.

"Selamat siang" Sapa pria bule yang memakai topi putih itu tersenyum lebar pada Laksmi.

"Siang. Untuk apa kalian datang kemari?" Tanya Laksmi tanpa basa-basi.

Terlihat begitu jelas wanita ini terganggu dengan kedatangan pria berbadan tinggi besar tersebut.

Pria itu bernama Jose Van Hoevell. Ya, dia adalah ayah dari Defras. Ia membuka topi lebarnya seraya memasuki kediaman Cipto tanpa ijin terlebih dahulu. Asap mengepul dari mulutnya setelah ia menghisap cerutu tua kesukaannya.

AKHIR PERMULAAN [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang