16. Dua Pilihan

937 133 10
                                    

"Kamu tau? Aku sudah menunggu lama untuk ini" Ucap Adiwilaga sembari menatap kedua manik Retania bergantian.

Retania yang masih wanti-wanti memunggungi Adiwilaga, menaikkan sebelah alisnya tak mengerti. Menunggu dirinya? Maksudnya?

Tanpa disangka, Adiwilaga meraih pinggang ramping Retania dan memeluk gadis tersebut dari belakang. Membuat dada bidang itu menyentuh kepala Reta yang rambutnya tergerai bebas. Hal tersebut membuat nafas Retania tersendat diatas perutnya.

Apa-apaan ini? Berani sekali.

Ketika Retania hendak melepaskan pelukan tersebut, gerakannya terhenti saat Adiwilaga kembali bersuara.

"Beberapa minggu lalu, aku dengar kamu mengalami kecelakaan. Dan benturan di dahimu itu membuat lupa dengan beberapa hal. Bahkan mungkin termasuk aku"

Retania semakin bingung dibuatnya. Termasuk? Apa sebelumnya ia mengenali pria ini? Apa mereka saling mengenal sebelumnya? Dan hubungan apa yang terjalin antara mereka berdua? Apa sedekat inikah?

"Kamu tau, aku tidak suka dengan londo itu" Sambungnya semakin memeluk Retania erat. Astaga, posisi itu sungguh tidak nyaman baginya.

Londo? Apa maksudnya? Retania tidak mengerti. Apa dia sedang membicarakan tentang Defras? Setelah susah payah melepaskan pelukan itu, akhirnya ia terbebas juga. Retania berbalik menatap Adiwilaga tidak suka.

"Bisa kan sopan sedikit? Jangan main peluk begitu!" Protesnya semangat.

Adiwilaga sedikit kikuk ditodong begitu, kemudian ia berusaha menjelaskan.

"Tapi aku begitu merindukanmu. Aku sudah cukup lama menunggu ini semua. Kamu datang kemari saja itu sudah menandakan kamu bersedia menjadi istriku bukan? Apa aku benar-benar sudah hilang dari ingatanmu?"

Retania semakin menyerngit tidak mengerti, percuma saja mengingatnya. Jelas ia tidak mengingat apapun, toh dirinya bukan berasal dari zaman ini.

Retania menggeleng pelan, sambil memegangi kepalanya yang tiba-tiba pening. "Aku tidak ingat apapun"

Bukan sakit karena mengingat sesuatu, melainkan sakit karena perjalanan jauh dari Bandung ke Surakarta yang memakan waktu hampir satu hari setengah. Ia migrain. Sial.

Adiwilaga terlihat khawatir, ia segera membawa Retania untuk duduk ditepi ranjang. "Jangan memaksakan untuk mengingat jika sulit"

Sungguh, Retania ingin tertawa mendengarnya tapi rasa pening di kepala membuatnya kalah telak. Jadinya ia tidak bisa berbuat apapun selain meringis menahan sakit di kepala.

Tidak lama kemudian ada sebuah suara dari luar kamar. "Nyuwun sewu Pangeran, Kanjeng Ratu menyuruh hamba untuk memberitau kalau jamuan makan malam sudah siap"

"Bilang saja aku tidak ikut makan, aku akan menemani Retania" Sahut Adiwilaga yang langsung dimengerti pelayan dibalik pintu sana.

Retania terus meringis sambil memegangi dahinya. Biasanya kalau sakit begini ia akan segera lari ke apotik dekat rumahnya, tapi sekarang? Ah, sudahlah.

"Tidurlah, nanti akan aku suruh pelayan untuk antar makanan untukmu" Adiwilaga mengangkat tubuh mungil Retania dan membaringkannya di ranjang.

"Jangan berpikir apapun, soal makan malam biar aku yang bicara pada Ibu. Kamu istirahat saja" Adiwilaga menutupi tubuh Retania hingga sebatas dada menggunakan sehelai selimut. Tak lupa kecupan lembut ia daratkan pada dahi gadis tersebut sebelum pergi.

Setelah Retania benar-benar sendiri di kamar, ia menghela nafas pelan. Retania mulai dilanda bingung.

Adiwilaga adalah pria tampan dengan tubuh dan paras yang mampu membuat perempuan manapun tergila-gila saat melihatnya. Dia juga adalah Putra Mahkota yang pastinya akan meneruskan takhta sang ayah menjadi Raja.

AKHIR PERMULAAN [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang