04. Parijs Van Java

2.1K 231 12
                                    

Jaka begitu terlihat menikmati fajar yang muncul dari ufuk timur. Selain itu, ia juga samar-samar disuguhkan dengan perbincangan dua insan disampingnya. Perbincangan manis menurutnya. Meski tatapan tertuju lurus ke depan namun gendang telinganya mampu menangkap suara tersebut.

"Kenapa Van langit dan aku mentari?" Ulang Retania penasaran dengan perumpamaan Defras.

Defras tersenyum sambil menggosok kedua tangannya yang terasa sedikit beku. "Apa yang kamu rasakan saat mentari terbit?" Tanyanya masih memandang langit diatas sana.

Retania meneliti lebih dalam apa yang ia lihat dan rasakan ketika memandangi sinar keemasan mulai memenuhi manik matanya.

"Hangat. Menghangatkan bumi dan seisinya" Lirihnya.

Meski pelan, Defras dan Jaka dapat mendengar suara yang begitu mereka rindukan setelah cukup lama tidak bertemu. Ya, karena setelah insiden Retania pingsan dan terluka akibat tertabrak delman, dua pemuda ini tidak diizinkan untuk bertatap muka dengan sahabatnya sendiri.

"Benar. Kamu tau bagaimana keadaan bumi dan langit, jika tidak ada mentari?" Lanjut Defras membuat Retania langsung memandang wajahnya dari samping.

"Dingin?" Terka Retania membuat Defras balik menatap wajahnya yang manis. Ia tersenyum.

"Kamu benar, dingin. Itu adalah saya sebelum bertemu dan mengenalmu" Ucap Defras sarat akan makna.

Biasanya Retania akan kegirangan atau tersipu malu. Namun sekarang ia lebih memilih menundukkan pandangannya. Tatapan Defras kali ini berbeda dari sebelumnya.

Terasa sedikit lebih tajam.

"Reta" Panggil Jaka membuat Retania langsung mengalihkan pandangannya pada pemuda yang duduk di samping satunya lagi.

"Lain kali kalau merasa bosan atau marah, jangan melakukan hal bodoh seperti waktu itu. Ngartos?" Omelnya.

Jaka berucap seperti itu, pasalnya suatu waktu ia pernah memergoki Retania yang hendak mengakhiri hidupnya dengan cara sedikit menyeramkan.

Hingga Jaka mendengar kabar kalau Retania ditabrak delman. Ia kira gadis itu berniat bunuh diri lagi, ternyata itu benar-benar hanya kecelakaan. Menggelikan.

Tunggu, apa Retania tidak salah dengar? Diakhir kalimat barusan, Jaka berbicara dalam bahasa sunda bukan?

Retania langsung memegang bahu Jaka dan menariknya cukup kasar agar berhadapan langsung dengannya.

"Tadi.. Jaka bicara bahasa sunda? Iya kan? Aku tidak salah dengar kan?"

Jaka yang merasa risih, segera melepaskan cengkraman mematikan dari kuku-kuku jemari sahabatnya. "Ih, Reta! Nyeri nyaho" Protes Jaka kesakitan sambil mengusap bahunya.

"Tuh tuh tuh, Jaka ngomong bahasa sunda, bener kan.." Tunjuk Retania tepat di depan wajah Jaka.

Jaka hanya memutar bola matanya malas, ia sempat berpikir kenapa sahabatnya yang begitu pendiam berubah menjadi tak tahu malu seperti ini setelah dihantam delman.

"Memangnya Jaka harus bicara bahasa apa?"

Sedetik kemudian Retania nyengir kuda dengan wajah bingung. "Ini dimana sih? Ini Jawa kan?"

Jaka mengetuk tempurung kepala Retania pelan. "Setelah kejadian seminggu lalu, sepertinya Reta lupa semua kecuali namanya sendiri. Dengar, sekarang Jaka sedang bicara dengan dialek selatan atau priangan karena ini adalah tanah pasundan, Retania Purwa Dinata.." Jelas Jaka membuat ekspresi wajah Retania semakin kusut.

Sungguh, demi apapun itu Retania sama sekali tidak mengerti apa yang diucapkan Jaka padanya. Lalu ia teringat saat Defras mengatakan kalau sekarang adalah tahun 1919.

AKHIR PERMULAAN [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang