35. Merelakannya

768 105 8
                                    

Defras terlihat kelabakan menjauhi pasukan Nederland yang mulai mendekat. Ia terus berlari sambil menggenggam tangan Retania, terus menyusuri hutan hingga sampai di pengungsian.

"Ada tentara!! Semuanya cepat lari!!"

Mendengar itu, semua warga langsung kocar-kacir tanpa sempat mengemasi barang bawaanya. Mereka berturut-turut segera meninggalkan pengungsian tersebut. Begitupun dengan Cipto dan Laksmi.

Laksmi segera menyambar Aji dalam gendongannya, sementara Cipto masuk ke dalam saung untuk membantu Yana berdiri. Tentunya dengan bantuan Elizabeth yang selalu menemani pemuda tersebut.

Sambil menahan sakit pada dada kirinya, Yana melepaskan rangkulan sang ayah. "Pak, Teh Reta.." Lirihnya pelan.

Benar. Saking mengkhawatirkan Yana, Cipto hampir saja melupakan anak sulungnya. Pria berkumis ini terlihat menimang seraya menatap luka anaknya yang masih belum kering.

Melihat raut wajah itu, Yana tersenyum. "Yana baik-baik saja. Yana dan Elis akan sembunyi. Kalau situasi sudah aman, nanti kita susul Bapak dan yang lainnya"

Baiklah. Tidak ada pilihan. Lalu Cipto memandang Elizabeth yang masih setia merangkul anaknya. "Pergilah. Cari tempat yang aman"

Setelahnya, Cipto segera berlari mencari Retania dan Defras. Sementara itu, nyeri bekas luka tembak kembali terasa. Yana meringis sambil memegangi dada kirinya. Membuat Elizabeth khawatir.

Dengan sekuat tenaga, Elizabeth terus memapah Yana ditengah kerumunan orang-orang yang berlari tak tentu arah.  Hingga ia membawa Yana bersembunyi dibalik pohon yang sangat besar.

Elizabeth segera duduk dan menyandarkan tubuh lemah Yana pada pohon tersebut. Oh tidak, darahnya kembali merembes dibalik kemeja gading pemuda ini. Ketika hendak menyibak kemeja itu, Yana segera menahannya.

"Cepat pergi!"

Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, Elizabeth menggeleng kuat. Gadis ini berusaha ingin melihat luka Yana. Namun untuk kesekian kalinya pemuda itu kembali menahan tangan gadis yang disukainya ini.

"Elis, dengar. Pergi dari sini cepat, nanti aku akan menyusulmu" Jelas Yana sambil menahan sakit yang luar biasa.

"Tidak!" Tolak Elizabeth tandas. Air matanya mulai menetes melewati pipinya yang seputih susu. "Kamu pikir, saya akan percaya dengan ucapan seperti itu? Kamu berbohong. Kenapa kamu tega berbohong pada Bapakmu sendiri?"

Ah, sial. Kenapa gadis ini selalu tahu apa yang Yana sembunyikan. Benar apa kata Elizabeth. Yana berbohong. Dengan keadaan seperti ini, dia hanya menjadi beban untuk yang lain. Dan satu-satunya cara agar mereka bisa leluasa lari adalah dengan memisahkan diri seperti sekarang ini.

Menyusul? Itu hanya omong kosong baginya. Yana sudah pasrah untuk menerima takdir apapun yang menghampirinya nanti. Tapi tidak bagi Elizabeth. Gadis itu masih punya kesempatan untuk meneruskan hidupnya.

Dengan gerakan lemah, Yana mendorong bahu Elizabeth hingga gadis itu tersungkur ke belakang. "Kalau lari sekarang, masih sempat. Sana pergi"

"Untuk apa saya hidup, jika kamu mati!"

Yana tersentak mendengar kalimat itu, kedua matanya ikut memanas seiring dengan suhu tubuhnya yang meningkat. Dia rasa sudah tidak tahan lagi. Meski tidak dibunuh oleh koloni tentara yang mengejar, dia yakin dirinya akan mati dengan keadaan terluka seperti ini.

Sangat menyiksa.

"Kamu pikir, saya takut menghadapi kematian? Setelah Emak dan Bapak pergi, saya tidak punya siapa-siapa lagi kecuali kamu. Dan setelah kamu memberikan surat itu di asrama, saya merasa hidup kembali. Tapi sekarang, kamu menyuruh saya untuk pergi?"

AKHIR PERMULAAN [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang