Kini aula yang begitu luas terasa cukup padat setelah ombak manusia memenuhi di dalamnya. Asrama yang biasanya dipakai pasukan pribumi untuk berlatih, kini dipakai untuk tempat mengungsi sementara.
Semua orang sedang larut dalam pikirannya masing-masing. Memikirkan bagaimana nasib mereka ke depannya. Nasib tanah Pasundan beserta ratusan jiwa di dalamnya.
Dengan tatapan nanar dan sulit diartikan, Retania berjalan melewati mereka yang sedang melepas lelah. Lantai beralaskan semen kasar itu dipenuhi tubuh yang lunglai.
Hingga akhirnya kedua kaki beralaskan selop kulit itu sampai di rerumputan, tepi halaman.
Sambil menghela nafas pelan, Retania duduk pada tembok yang setinggi lutut orang dewasa. Punggungnya, ia sandarkan pada pilar di belakangnya.
Tak lama kemudian, Retania melihat Yana menjauh dari rombongan. Pemuda itu menghampiri beberapa orang yang sedang duduk lesehan disudut asrama sana.
Sangat terlihat jelas, empat orang disana memisahkan diri. Apalagi salah satu dari mereka terlihat begitu mencolok dengan kulit putihnya.
Retania terus memperhatikan Yana yang tersenyum ramah dan mendekati gadis berselendang hitam itu. Ya, gadis tersebut adalah Elizabeth.
Setelah berbincang sebentar, Yana meminta izin untuk mengajak Elizabeth menjauh sedikit dari keluarganya. Menuju tepi halaman.
Disana, Yana mengeluarkan lipatan kertas dari saku kemejanya. Lalu ia berikan pada Elizabeth.
Sedangkan gadis berselendang hitam itu menerimanya dengan malu-malu. "Kamu, tidak dimarahi Bude kalau bertemu saya?"
Senyum manis terbentuk dari bibir tipis Yana. Ia menundukkan kepalanya sebentar. "Itu sudah konsekuensinya. Umm, Elizabeth kam-"
"Elis" Potong Elizabeth menatap manik hitam lawan bicaranya. "Saya sudah bilang kan? Saya lebih suka kalau dipanggil Elis saja"
Senyum Yana kembali mengembang. "Iya. Elis. Suratnya kamu baca di rumah saja. Jangan disini"
Elizabeth menggenggam erat lipatan kertas ditangannya. "Iya, saya juga berharap bisa pulang ke rumah secepatnya"
Luntur sudah senyum Yana, ia melihat kedua bola mata Elizabeth bergerak gusar. Meski bibirnya masih melengkung indah. "Kamu tidak akan pergi ke Belanda kan?" Tanyanya.
Mendengar itu, Elizabeth terkekeh pelan. "Tidak. Disini saja saya sudah dibuang. Apalagi disana"
Sesuatu dalam dada Yana sedikit tercekit ketika mendengarnya. Itu memang benar adanya, keturunan indo sulit untuk diterima dipihak manapun. Namun disisi lain Yana juga lega karena gadis bermata biru itu tak akan pergi meninggalkannya.
Yana mengangguk seraya mengulum senyumnya yang semakin merekah. "Kalau begitu tetaplah disini"
Begitupun dengan Elizabeth. Kedua pipi gadis bermata indah itu bersemu merah, sangat kontras dengan kulit wajahnya yang seputih susu. Cantik sekali.
Disisi lain, Retania yang masih memperhatikan Yana dan Elizabeth dari jarak jauh sedikit tersadar setelah Jaka menepuk pundaknya dari samping. Ia menoleh, memandamg wajah sang sahabat yang tersenyum cerah.
"Ta, makan dulu" Serunya sembari memberikan sepotong singkong pada Retania.
Sebelum menerimanya, Retania menoleh pada seseorang yang datang bersama Jaka. Orang itu, kini sedang membagikan potong demi potong singkong dan ubi dari karung goni yang dibopongnya pada orang-orang.
Dia adalah Nataprawira.
Sudahlah, lupakan. Retania sudah muak dengan orang itu. Tak bisa ditebak, seperti hantu. Hingga akhirnya ia menerima singkong yang masih hangat dari Jaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIR PERMULAAN [SELESAI]
Historical FictionIni hanyalah sebuah kisah cinta dua manusia dari zaman yang berbeda. Kisah cinta yang membutuhkan banyak pengorbanan dan penantian di dalamnya. Perbedaan budaya, kesetaraan, dan keyakinan tak membuat mereka menyerah pada perjuangan tersebut. Meskipu...