"Ini saya. Kamu tidak ingat?" Sela Defras cepat pada seseorang yang menodong Retania dengan pisau barusan.
Retania terdiam. Mengamati Defras sedang berbicara dengan orang yang ada di belakangnya. Sambil menahan nafas, Retania melirikan mata tanpa menggerakan kepalanya. Penasaran siapa orang itu.
Setelah menajamkan penglihatan dalam keadaan subuh yang tak begitu jelas, orang itu memicingkan matanya. Memperjelas apa yang ia lihat. Setelah yakin, kedua matanya sedikit melebar. Lalu menjauhkan pisau dari leher Retania dan melangkah mundur.
Dengan gerakan cepat, Defras bangkit dan segera menarik Retania untuk berdiri dekat dengannya. Kini Retania dapat melihat siapa orang yang hampir saja memutuskan urat nadinya.
"Wira?"
Iya, itu Nataprawira. Pemuda itu datang dengan tergesa-gesa dan nafas yang berantakan. Pakaiannya sungguh kotor juga basah dan banyak yang sobek dibeberapa bagian. Bahkan kedua matanya juga merah, bagai banteng yang baru saja menemui lawannya. Terengah-engah.
"Ikut aku" Intruksi Wira, yang langsung diikuti Retania dan Defras.
Hingga akhirnya mereka berdua mengikuti Wira. Kini mereka bertiga menyusuri jalanan, hingga masuk ke dalam hutan rimbun yang sepertinya jarang sekali dijamah oleh manusia. Hingga berhenti setelah sampai ditepi sungai. Disebrang sungai sana, terlihat cukup banyak orang.
Kini mereka bertiga melintasi sungai kecil sebelum sampai disebrang. Beberapa orang disana menatap kedatangan Retania dan Defras dengan tatapan sulit diartikan. Apalagi ketika memandang Defras. Tatapan benci sangat terlihat jelas.
"Sebelah sini" Wira mengarahkan mereka menuju saung kecil dibalik pohon besar sana.
Saung itu terbuat dari kain samping yang dibentuk sedemikian rupa hingga seperti tenda seadanya. Tepat saat di depan saung, kain samping itu tersibak. Memperlihatkan seseorang keluar dari dalamnya.
"Bapak!" Tanpa buang waktu, Retania segera memeluk ayahnya.
Begitupun Cipto. Dengan deraian airmata yang sulit dibendung, ia memeluk tubuh mungil sang anak. Dikecupnya berkali-kali pucuk kepala Retania. "Neng, baik-baik saja kan?"
Retania mengurai pelukan lalu mengangguk pelan. Namun dengan cepat ia menoleh pada Defras yang tak jauh berdiri didekatnya. "Tapi kaki Van terluka"
Cipto segera mendekat dan membawa Defras untuk duduk diatas akar pohon dekat saung. Selama Cipto dan Wira berusaha mengeluarkan timah dari betis pemuda indo itu, Retania masuk ke dalam saung.
Kedua matanya kembali terhalang genangan air ketika melihat Yana terbaring lemah. Tubuh bagian atasnya tak tertutupi kain, hanya ada dedaunan yang sudah ditumbuk pada bagian dada kirinya.
Merasakan kehadiran, dua wanita yang sedang mengobati Yana menoleh. Salah satu dari mereka berdiri dan segera memeluk Retania sayang.
"Nduk. Syukurlah kamu ndak apa-apa"
Retania segera menghapus air matanya setelah Laksmi mengurai pelukan. Ia berusaha tegar. "Yana kenapa Bude?"
Sebelum menjawab, Laksmi menarik lengan Retania untuk duduk didekat adiknya yang terbaring lemah. Retania memandang perempuan di hadapannya. Perempuan bermanik biru itu tersenyum singkat saat dipandang.
"Elis, terimakasih sudah menjaga Yana"
Iya. Itu Elizabeth. Gadis itu kembali tersenyum. Lalu menambahkan tumbukan daun pada dada pemuda yang dicintainya.
Karena merasakan nyeri teramat sangat, Yana terbatuk dan membuat kedua matanya terbuka. Ia meringis sambil menahan perih dan panas pada dada dan bahu kirinya. Kemudian pandangannya teralihkan pada Retania yang duduk tak jauh didekatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIR PERMULAAN [SELESAI]
Historical FictionIni hanyalah sebuah kisah cinta dua manusia dari zaman yang berbeda. Kisah cinta yang membutuhkan banyak pengorbanan dan penantian di dalamnya. Perbedaan budaya, kesetaraan, dan keyakinan tak membuat mereka menyerah pada perjuangan tersebut. Meskipu...