Belum sempat Retania kembali menyanggah pembelaan pemilik rumah, Defras sudah keluar dari kamar mandi. Pemuda kulit putih itu menghampiri dan memberikan dress padanya.
"Pakailah, sebelum kulitmu ikut membiru" Ucapnya tersenyum tipis.
Sebelum menyambar pakaian itu dan pergi ke kamar mandi, Retania menyempatkan melirik tajam pria sebagai lawan bicaranya tadi. Kalian tau kan siapa yang dimaksudkan?
Kini langit sudah semakin gelap, di rumah itu hanya ada beberapa lampu minyak sebagai penerangan. Ditemani hujan rintik-rintik membuat beberapa anak yang sudah meringkuk masuk ke alam mimpinya semakin terlelap pulas.
Sementara Retania hanya duduk termenung di sebuah kursi kayu usang. Ia hanya memandangi rintik hujan yang terus membasahi tanah Batavia di luar jendela sana tanpa henti.
"Apa yang kamu pikirkan?" Defras membuyarkan lamunan gadisnya. Ia bersimpuh di hadapan Retania yang kini memandangnya sendu.
"Wira mana?" Retania balik bertanya tanpa menjawab terlebih dahulu pertanyaan barusan.
"Pria pemilik rumah ini maksudnya?" Tanya Defras membuat Retania mengangguk singkat. "Dia sedang menjual hasil kerajinan untuk ditukar dengan bahan makanan" Sambungnya membuat Retania kembali terhenyak.
Kemudian Defras terssnyun tipis. "Kamu tau? Mungkin ini sedikit bodoh, tapi sepertinya jika kamu bertemu lebih dulu dengannya dibanding saya, kamu pasti akan lebih memilih bersamanya" Lirihnya sembari memainkan jemari lentik Retania diatas paha gadis tersebut.
"Dia seorang yang tampan, mampu menghasilkan hal menakjubkan, bahkan dia menampung mereka semua" Liriknya pada anak-anak yang saling berpelukan dalam tidurnya.
Defras menghirup udara malam sebelum meneruskannya. "Yang membuatnya lebih beruntung adalah.. dia seorang pribumi. Tidak seperti saya"
Kedua alis Retania menukik cukup tajam mendengarnya. "Van. Aku tidak suka kalau kamu membandingkan diri seperti itu"
Lalu Retania menggenggam kedua tangan Defras erat. "Aku mencintaimu, karena kamu adalah kamu. Bukan oranglain" Ucapnya pelan namun yakin.
Retania tidak menyangka kalau Defras mempunyai ketidakpercayaan diri seperti ini. Ia kira kehidupan seorang penjajah jauh lebih merdeka dibanding seorang yang dijajah. Ia kira rumah megah, makanan melimpah, dan semua fasilitas yang didapat bisa membuat mereka bahagia.
Nyatanya ia sedikit keliru, nyatanya Defras lebih memilih untuk berteman dengan kaum pribumi dibanding orang sebangsa dengannya. Karena lelaki itu pernah bilang, berkumpul dengan bangsanya sendiri malah membuat dirinya perlahan menjadi mesin pembunuh yang haus akan kekuasaan.
Bahkan lelaki kulit putih ini harus dipisahkan dari ibu kandungnya sendiri saat kanak-kanak yang notabene adalah penduduk asli bumi Pasundan. Iya, Retania akui selama hidup di zaman ini ia lebih sering melihat babu yang mengurus anak-anak Nederland itu ketimbang orangtuanya sendiri.
"Kamu tetap cinta walau apapun yang terjadi, bukan?" Defras menatap lekat kedua mata Retania.
Meski sedikit bingung, gadis itu tetap mengangguk seraya tersenyum menjawabnya. Namun itu tidak lama, setelah terdengar suara gemuruh dan tanah berlapis kayu itu bergetar cukup kuat. Bahkan beberapa anak yang tertidur pulas, kini ikut terbangun.
Retania bangkit dari kursi lusuh itu. "Van, ada apa ini?" Tanyanya lalu menatap ke luar jendela.
Matanya membulat sempurna setelah melihat beberapa tentara Nederland turun dari dua mobil tahanan dan mulai terdengar ketukan kasar diluar pintu sana. Hal itu membuat semua anak-anak yang sudah terbangun kini kembali berpelukan menggigil ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIR PERMULAAN [SELESAI]
Historical FictionIni hanyalah sebuah kisah cinta dua manusia dari zaman yang berbeda. Kisah cinta yang membutuhkan banyak pengorbanan dan penantian di dalamnya. Perbedaan budaya, kesetaraan, dan keyakinan tak membuat mereka menyerah pada perjuangan tersebut. Meskipu...