Retania menggeram kesal dengan hati yang terasa perih. Ia masih dongkol dan tidak menyangka akan memaki juga mengeluarkan kata-kata kasar pada lelaki yang sangat ia cintai. Lelaki yang sikapnya tiba-tiba berubah menjadi dingin. Lagi, lagi, dan lagi.
Karena tak kunjung tenang, akhirnya Barend membopong Retania menuju kamar dan menurunkannya di atas kasur yang hanya beralaskan tikar tipis.
"Bisakah tenang sedikit?" Ringis Barend sambil mengusap lengannya yang sempat Retania gigit tadi.
"Mau apa kamu hah?!" Retania segera berdiri dan menunjuk Barend sangar. "Jangan berani macam-macam!"
Barend terkekeh pelan mendengarnya. "Daripada memaki, seharusnya kamu itu berterimakasih pada laki-laki yang kamu tampar tadi"
Usai mengatakan itu, Barend langsung meninggalkan Retania di kamar sendirian. Meninggalkan Retania masih dengan kedua alis yang tertaut bingung.
Berterimakasih? Pada orang yang sudah membawanya ke tempat mengerikan ini? Yang benar saja.
Retania melepas gelungan dan mengacak rambutnya asal, suara isak tangis mulai terdengar dari mulutnya. "Aku benci sama kamu!! Benci banget! Aku benci.."
Sedangkan Sari mengintip dicelah pintu yang terbuka sejengkal, hanya bisa terdiam melihatnya. Ia segera menghapus airmata sambil mengelus perutnya yang semakin membuncit.
*****
Hari demi hari, Retania habiskan menjadi babu di asrama tentara itu. Ia sangat merindukan Cipto, Laksmi, dan ketiga adiknya. Ah, ingin rasanya Retania keluar dari tempat yang mengekang hidupnya ini. Belum lagi hampir tiap malam ia harus mendengar suara jeritan dari kamar lain. Jeritan yang membuat gendang telinganya hampir pecah.
Seperti malam ini, ia hanya bisa menutup kedua telinganya sambil menggeram kesal. Ingin sekali Retania menuju kamar sebelah dan membanting kepala tentara yang sedang melakukan aksi bejadnya itu.
Tapi nyalinya tidak sebesar itu, ia juga masih memikirkan bagaimana kalau dirinya yang menjadi sasaran mereka. Tapi tetap saja hal ini tidak bisa dibiarkan.
"Mau kemana?" Sari segera mencekal lengan Retania yang hampir meraih gagang pintu.
Retania memutar bola matanya malas mendengar pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. "Aku tidak kuat dengar tangisannya, memangnya kamu tidak?"
Sari sedikit menarik Retania agar menjauh dari pintu. "Tidak. Duduklah. Itu bukan urusanmu"
Retania terkekeh sinis. "Tidak? Jangan mentang-mentang kamu sudah jadi korbannya terus membiarkan mereka sama sepertimu juga! Gila" Ujarnya dengan suara yang semakin menanjak.
"Lalu jika sudah sampai disana, apa yang akan kamu lakukan? Memisahkan mereka yang sedang melampiaskan nafsunya? Memang apa daya kamu untuk melawan mereka? Punya apa kamu untuk melindungi nyawa sendiri?"
Retania hanya mematung didekat pintu saat ucapan tajam Sari menyindirnya. Memang benar, ia tidak bisa melakukan apapun untuk hal itu. Ia hanya tak tahan mendengar suara kesengsaraan itu. Ia hanya terbawa emosi dan hampir menyisihkan akal sehatnya.
"Duduklah" Sari menepuk kasur beralaskan tikar tipis di atas lantai. Wanita ini bersandar ke dinding sambil terus mengelus perutnya.
Retania mendengus pelan lalu ikut duduk disebelah Sari. Ia hanya bisa menahan kesal saat mendengar suara teriakan dan tangisan dari luar kamar sepetak ini semakin menjadi.
"Dia laki-laki yang baik dengan caranya sendiri"
Retania melirik Sari yang tiba-tiba berbicara sambil memandangi ventilasi udara diatas pintu, satu-satunya pencahayaan alami di kamar itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKHIR PERMULAAN [SELESAI]
Ficción históricaIni hanyalah sebuah kisah cinta dua manusia dari zaman yang berbeda. Kisah cinta yang membutuhkan banyak pengorbanan dan penantian di dalamnya. Perbedaan budaya, kesetaraan, dan keyakinan tak membuat mereka menyerah pada perjuangan tersebut. Meskipu...