DEEP [ENAM PULUH DUA]

95 17 0
                                    

Tiga tahun kemudian...

Angin pagi membelai wajahnya dengan lembut. Anak-anak rambutnya terliat menjulur di sekitar lehernya yang putih dan jenjang. Matanya sibuk menikmati hawa pagi kota yang sudah hampir lima tahun ia huni dengan segala adaptasinya. Dan lihatlah dia sudah mulai tampak biasa dengan suasana di sini. Gadis itu sudah sejak satu jam lalu melamun dan menimati udara pagi. Ia ditemai secangkir kopi hitam bersama beberapa potong roti panggang yang dibuatnya sendiri.

Sungguh ini sudah 5 tahun berlalu,  namun rasa-rasanya baru kemarin dia menanggalkan semuanya di kota budaya itu. Rasa-rasanya yang dia tanggalkan tak benar-benar tertanggal. Mungkin hanya manusianya saja yang di tanggalkan,  namun kenangannya selalu menjadi bayangan satir yang mengikuti kemanapun gadis itu pergi. 

Lantas bukankah dia adalah bajingan ulung? Sekarang dia sudah mempunyai orang yang benar-benar tulus menyayanginya. Benar-benar ada untuknya. Dan ia menerimanya dengan penuh kesadaran. Akan tetapi mengapa rasa-rasanya masih saja ada yang mengganjal. Rasanya, perasaannya masih belum penuh untuk seseorang itu. Belum lagi dia masih menyimpan satu rahasia yang sangat besar.

Gadis itu menarik nafasnya dalam-dalam, apa yang harus dia lakukan agar tidak membuat semua ini semakin sulit untuk dilupakan.  Baru saja ia akan meneruskan lamunannya, namun suara seseorang mengintrupsinya. 

"Abel?"

Yang dipanggil terperanjat kaget. 

"Eh, Budhe"

"Kamu ni lho pagi-pagi ngalamun terus. Ada apa? Ada masalah?"

"em-"

"kenapa nduk? Gimana Orion? Sudah kamu jawab?"

Lagi-lagi Abel terdiam tanpa kata.

Budhe memandang Abel dengan seksama. Mata itu membuat Abel sama sekali tidak bisa berbohong. Ia tidak bisa menyimpan ini lama-lama. Bukankah 5 tahun bukan waktu yang sebentar untuk menyimpan luka sendirian?

Dan akhirnya, mengalirlah semua cerita itu. Mengalirlah segala hal yang dipendam Abel sendirian. Detik itu juga segala luka tumpah ruah di sana. Dengan sigap Budhe memeluk Abel. Dalam pelukan Budhe, Abel terisak. Dan pada saat itu juga perasaan Budhe sama terombang ambingnya. Sejak kapan keponakan di depannya ini bisa setegar ini memendamnya sendirian? Sejak kapan keponakannya ini mempunyai luka yang tidak pernah disembuhkan?

"Nduk,  dengarkan Budhe. Budhe ndak akan memaksa kamu. Jawaban itu Budhe pasrahkan kepada kamu. Itu kan yang jalanin kamu. Kalo kamu merasa masih belum bisa menanggalkan semuanya dengan sempurna, jangan sampai membuat jalan setapak baru demi menanggalkan yang lama. Kan sama saja kamu menjadikan jalan setapak baru itu pelampiasan saja? Budhe ngikut kamu nduk. Toh kamu sudah besar. Tahu mana yang baij buat kamu mana yang engga. Nduk, kamu hebat. Budhe percaya sama keputusan kamu, dan apapun itu Budhe menghargainya" Budhe mengelus-elus puncak kepala Abel.

Mendengarnya Abel merasa sedikit lega. Setidaknya apapun keputusannya nanti tidak akan menyakiti hati Budhe. Setidaknya begitu.

"Hal yang perlu kamu lakukan sekarang adalah jujur nduk. Jujur sama diri kamu sendiri dan nak Orion. Entah apapun keputusan kamu nanti, paling tidak Orion harus tahu ini semua kan? Dia anak baik nduk. Budhe tau itu. Coba bicara baik-baik sama Orion. Yaudah ya, Budhe ke dapur dulu" Budhe tersenyum kepada Abel lalu melangkah ke dalam rumah.

Sekarang tinggal Abel termenung kembali di tempat duduknya. Kopi hitamnya mulai dingin, roti panggangnya sudah tak manis seperti tadi. Rasa laparnya menguap seketika. Yang ada di benaknya sekarang adalah membenarkan semua perkataan Budhe. Yah, ia harus jujur kepada Orion. Bagaimanapun sekarang Orion adalah seseorang yang penting dalam hidupnya dan sebentar lagi akan menjadi satu untuk selamanya. Sebelum melangkah ke arah yang lebih serius ada baiknya memang cowok itu harus paham apa yang menjadi kegelisahan Abel selama ini. Apa yang selama ini Abel rahasikan dari Orion. 

Tanpa banyak membuang waktu, Abel membuka handphonenya. Ia memencet tombol telfon

Orion❤ is calling......

"Halo sayang? Ada apa?"  jawab seseorang di sana

"Nanti pergi yuk" ajak Abel ragu

"Tumben? Mau nongki aja po?  Kebetulan saya kemarin baru nemuin kafe. Lucu. Kamu pasti suka."

"Boleh"

"Yaudah, nanti saya jemput jam 7 malem yah"

"Iyah, see you"

Sambungan terputus. Abel meletakkan handphonenya. Memang tidak baik berlama-lama buyar dengan lamunannya yang bahaya itu. Ia melangkah menuju dapur, memang lebih baik membantu Budhe memasak dari pada makin terlarut dengan resahnya yang tak bersudah.

🌊🌊🌊

-DEEP-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang