DEEP [ENAM PULUH DELAPAN]

99 14 2
                                    

Dekka sedari tadi hanya melamun. Mungkin hampir tiga jam Dekka berada di atas rumah pohon ini. Angin semilir terus saja berhembus pelan seakan membeli kepala Dekka menyalurkan ketenangan di sana. Matanya masih saja menatap kosong ke depan. Seakan akan jiwanya itu melayang entah kemana. Tubuhnya sudah tidak mempunyai tenaga. Habis terkuras dengan luka yang baru saja diterimanya.

Dekka benar-benar tidak tahu sekarang harus apa. Harus bagaimana. Dia bingung ingin berbuat apa. Otaknya bahkan beku untuk memikirkan sesuatu. Di benak ya hanya ada nama Abel dan kenangan-kenangan yang terus saja memutar bak kaset rusak.

Yah Dekka datang ke sini untuk menenangkan pikirannya. Mengais sisa-sisa aroma tubuh Abel yang barang kali tertinggal di rumah pohon ini. Atau memunguti segala tawa dan kenangan gadis itu untuk ia ambil lalu disimpan rapat-rapat dalam hatinya. Yah. Rumah pohon ini adalah tempat Abel dan Dekka melepas penat. Dekka membuatkan Abel rumah pohon sebagai hadiah ulang tahun Abel yang ke 14 tahun.

Kenangan membombardir Dekka dengan sadis. Ingatan-ingatan tentang Abel muncul satu persatu ke permukaan. Dekka memasuki rumah pohon itu. Lihatlah, rumah pohon ini seakan menjadi versi Abel yang lain. Bagaimana tidak? Di sini penuh sekali dengan foto-foto Abel. Tentu saja Abel sendiri yang memasang foto dirinya. Tak ketinggalan foto mereka berdua. Dekka dan Abel.

Sungguh, Dekka baru menyadari bahwa Abel sudah menemaninya selama ini. Menemaninya bertahun-tahun. Ada dalam keadaan apapun. Dan selalu menerima Dekka apa adanya. Dekka baru menyadari bahwa Abel bermetafosa menjadi gadis yang manis. Pantas saja banyak yang menyukai gadis itu. Selain manis dia juga periang dan pendengar yang baik bagi semua orang.

Sungguh kemana saja Dekka selama ini? Kenapa dia tidak berusaha menengok ke belakang. Ke arah Abel. Mengapa dia selama ini hanya memberi punggung untuk Abel? Mengapa ia tidak memberikan hatinya, jiwanya.

Tes.

Gerimis menghiasi pipi Dekka. Cepat-cepat ia mengusapnya. Ah Abel. Mengapa gadis itu begitu sempurna dan Dekka baru menyadarinya sekarang? Katakanlah Dekka bodoh. Mencari yang sempurna, padahal sebenarnya yang ia cari menunggunya. Menanti dia untuk menengok dan mengajak berjalan di sampingnya sebagai teman hidup.

Dekka kembali merenung. Mencoba berpikir ulang. Ia mencari cara. Dekka yakin ini belum terlalu terlambat. Dekka yakin ia masih punya waktu.

Yah. Dekka harus ke rumah Abel sekarang. Ia harus menemui gadis itu. Ya walaupun dekka belum tahu kemana gadis itu sekarang, yang jelas pastinya Abel masih ada di kota ini. Pasti.

Dekka bergegas menurun rumah pohon dan segera masuk ke mobil. Ia langsung menancapkan gas menuju rumah Abel.

🌊🌊🌊

Arel dari tadi masih mondar mandir di ruang tamu. Ia sudah mirip setrika laundry. Sedang yang lain duduk di sofa. Mereka masih ada di rumahnya Dekka. Sedari tadi mereka berpikir untuk mencari jalan keluar.

Tiba-tiba Arel bersuara, "Gue punya ide!"

Semua menatap Arel.

"Kita ke rumah Abel aja gimana?"

"Serius lo?"

"Iya kalo anaknya ada, lha kalo kaga?"

"Namanya usaha kan Ta, apa salahnya?"

"Iya juga sih"

"Dekka gimana?" Nila bersuara.

"Biarin dulu aja, gue tau dia butuh nenangin diri dulu. Jangan ganggu dia dulu. Gue jamin aman. Dia kaga kenapa-kenapa." Arel menenangkan.

"Yaudah gas yuk"

Semua mengangguk dan pergi menuju mobil masing-masing. Mereka langsung beriringan menuju rumah Abel.

-DEEP-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang