DEEP [EMPAT PULUH DUA]

988 74 0
                                    

Quinta sedang bersantai santai di depan televisi. Semua pekerjaan telah dia selesaikan dengan rapi tanpa ada cacat sedikitpun. Sekarang dirinya tinggal bersantai tanpa beban.

Baru saja dia akan membuka laptopnya, tiba-tiba mamanya datang menghampiri dirinya sambil marah-marah.

Quinta yang mendengar mamanya marah-marah langsung berdecak malas. Selalu saja. Habis ini pasti Quinta akan dimarahi habis-habisan lagi. 

"Quinta!"

"Apa Ma?"

"Ini apa?!" Suara mamanya meninggi satu oktaf sambil menenteng selembar kertas.

Quinta mengerutkan dahinya samar. Otaknya mencerna apa yang baru saja dilihatnya. Quinta langsung menangkap hal tersebut. Dia meruntuki kebodohannya. Pasti mamanya itu menemukan hasil nilai utsnya kemarin.

"Apa-apan ini? Kamu rangking 25 satu kelas?! Kamu ini bisanya cuma nyusahin. Contoh tu adek kamu. Rangking satu terus bahkan paralel saja dia tetap bisa mempertahankan rangkingnya."

Quinta berdecak lagi. Dia muak dibanding-bandingkan dengan adeknya.

"Kenapa sih mama selalu bandung-bandingin Quinta sama adek? Kecerdasan orang itu beda-beda ma. Jangan disama-samain." Suara Quinta juga ikut meninggi.

"Kenapa gak bilang mama?"

"Kalo Quinta bilang emang gak bakal di marahin? Enggak kan? Sama aja kan efeknya?"

"Dasar anak gak tau di untung!"

"Mama itu bisa gak sih sekali aja hargai usaha Quinta yang udah belajar mati-matian buat dapetin nilai bagus."

"usaha mati-matian katamu? Kerjaan cuma nonton film, main, tidur. Itu yang namanya usaha?"

"Terus Quinta harus gimana sih biar mama itu sekali aja liat sisi lain dari Quinta. Kenapa mama gak coba memahami kalo setiap anak itu beda." Suara Quinta serak menahan isakan.

"Apa sih Ta susahnya jadi kayak adek kamu? Udah nurut. Rajin. Gak nyusain. Lha kamu? Kerjaan cuma ngabisin duit orang tua aja."

"Apa mama gak sadar? Selama ini yang kerjain semua kerjaan rumah siapa? Adek? Bukan kan? Pernah Quinta minta uang jajan sama mama? Enggak kan? Dimana letak Quinta nyusahin mama?" mata Quinta memerah. Air matanya nyaris jatuh jika dia tidak mendongakkan kepalanya.

"Mama cuma mau kamu itu berprestasi, jadi anak sukses."

"Cukup ma cukup! Quinta capek. Udah cukup mama banding-bandingin Quinta sama adek. Cukup ma. Quinta udah habis sabarnya." Suara itu penuh dengan amarah. Sarat akan kekecewaan yang mendalam.

Tanpa berpikir apapun, Quinta menyambar tas yang hanya berisi dompet dan handphonenya. Dia juga menyambar kunci mobil di dekat laptopnya.

"Mau ke mana kamu!?"

"Bukan urusan anda!"

Sebelum Quinta mendengar kata-kata sumpah serapah dari mamanya, dia sudah pergi duluan. Menaiki mobilnya dan melajukannya dengan ugal-ugalan.

Sepanjang perjalanan, air matanya mengalir dengan deras tanpa henti. Sakit hatinya menganga lebar mengingat makian demi makian bundanya.

Apa salah jika Quinta lahir di dunia ini? Apa salah jika dirinya ingin diperhatikan seperti anak pada umumnya.

Dia hanya ingin perhatian orang tuanya. Perhatian mamanya. Itu saja. Dia tidak suka dibanding-bandingkan. Dia tidak suka di bedakan. Quinta ya Quinta. Adeknya ya adeknya.

Mereka adalah dua orang yang berbeda. Dan mamanya tak pernah mau melihat perbedaan itu. Apa-apa disamakan dengan adeknya. Apa-apa selalu yang di nomersatukan adalah adeknya.

Miris memang.

Iya Quinta tahu dia hanya pendatang baru dalam keluarganya sendiri. Dia hanya perusak kebahagiaan tiga anggota keluarganya itu. Tapi setidaknya perlakukan Quinta layaknya keluarga. Bukannya malah pilih kasih seperti itu.

Quinta butuh penenangan. Dia butuh bertemu seseorang.

Quinta menepikan mobilnya. Dicarinya kontak Amar. Hanya cowok itu yang di butuhkan Quinta sekarang.

Amarld ❤🔐 : Lo di mana?

Amarld ❤🔐 : Gue butuh lo

Amarld ❤🔐 : Ada yang mau gue ceritain

Amarld ❤🔐 : Mar, lo di mana sih?

Amarld ❤🔐 : Penting Mar lo di mana

Amarld ❤🔐 : P

Amarld ❤🔐 : P

Amarld ❤🔐 : P

Amarld ❤🔐 : P

Amarld ❤🔐 : P

Amarld ❤🔐 : P

Amarld ❤🔐 : P

Amarld ❤🔐 : P

Amarld ❤🔐 : P

Amarld ❤🔐 : P

Amarld ❤🔐 : P

Amarld ❤🔐 : P

Quinta spam chat Amar hingga ratusan. Namun tak ada satupun yang terbalas. Ah jangankan terbalas. Di baca saja tidak.

Berulang kali Quinta juga menelpon Amar, namun tak ada sautan dari sana. Hanya suara operator yang memberitahukan bahwa nomor yang ia tuju ternyata tidak aktif.

Quinta membanting handphonenya ke belakang jok mobilnya. Quinta sama sekali tak peduli handphonenya itu kemana.

Ia menaruh kepalanya di atas setiran mobil sambil menangis tanpa henti.

Kenapa tak ada yang mengertikan dirinya sama sekali? Kenapa semua orang tidak ada disaat Quinta sedang kalut kalutnya. Disaat Quinta benar-benar butuh sandarannya. Disaat Quinta benar-benar butuh rengkuhan.

Kemanakah cowok itu pergi? Kenapa handphonenya sama sekali tidak aktif. Padahal Quinta benar-benar butuh cowok itu.

Sebenarnya Quinta ini bagian terpenting di hidup Amar atau hanya selingan saja? Kenapa hanya untuk sekedar mengangkat atau membalas telponnya saja sangat susah?

Hidupnya sungguh tidak adil. Orang tuanya bahkan tidak menerimanya dengan baik. Sedangkan cowok yang berstatus pacar malah hilang tanpa kejelasan. Meninggalkan Quinta dalam keadaan jatuh dan kalap. Quinta tak habis pikir jika akan sampai sejauh ini.

Pikir Quinta mamanya memang belum bisa menerimanya karena dia baru saja datang dan masuk ke dalam keluarganya. Quinta pikir seiring berjalannnya waktu semua akan normal dan baik-baik saja.

Gambaran Quinta tentang keluarga bahagia berputar di kepalanya. Akhirnya setelah sekian lama dia tidak dirawat dengan keluarga kandungnya, akhirnya dipertemukan juga.

Pada saat itu rasa membuncah bahagia memenuhi rongga dada Quinta hingga sesak saking bahagianya. Namun seiring berjalannya wkatu semua tidak seuai ekspektasinya. Mamanya itu tidak sebaik yang di ceritakan maminya.

Ia Ingin menghubungi Abel dan menceritakan semuanya pada gadis itu. Tapi kemudian terlintas rasa tidak enak menyerang dirinya. Quinta tidak ingin membebani Abel. Masalah gadis itu sudah terlalu berat. Jika ditambah masalah Quinta pasti hanya akan memperumit saja. Abel yang mempunyai masalah seberat itu saja hanya diam dan memilih bungkam sampai salah satu dari mereka ada yang mengetahuinya.

Yang bisa Quinta lakukan sekarang hanya menenangkan diriya untuk beberapa waktu. Mengasingkan diri dari dunianya. Termasuk dunianya dengan para sahabatnya. Termasuk dengan Amar juga.

Quinta harus pergi dari dunianya untuk sementara. Ke tempat yang mungkin tak pernah ada yang mengetahui keberadaannya. Hanya Quinta dan bayangannya saja.

Quinta terpikir untuk ke tempat itu. Dia melajukan mobilnya. Pergi ke tempat itu untuk membuat pikirannya jernih. Sehingga dia bisa lebih tenang memikirkan semuanya.

🌊🌊🌊

-DEEP-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang