DEEP [ENAM PULUH EMPAT]

98 16 6
                                    

Rekomendasi sangat:
Let's play soundtrack from Fiersa Besari-Samar🎵

Selamat membaca!!
.
.
.
.

Abel sudah siap dengan setelan sweeter coklat dan jeansnya. Ia sekarang tengah duduk di depan teras rumahnya sambil memandangi gugus-gugus bintang di malam hari. Matanya memang asik mengamati bintang, namun hatinya sendiri gelisah tidak karuan. Sungguh hatinya dilanda kegamangan yang tak berujung. Segala tentang lelaki di sana. Lelaki yang tidak pernah absen dari ingatannya terus saja berputar-putar bak kaset rusak.

Yah Abel masih saja ingat cara lelaki itu tersenyum, tatapan khas lelaki itu jika bersama Abel, dan ya, sikap manisnya itu yang tidak pernah ditunjukkan ke siapapun kecuali Abel dan sahabat-sahabatnya. Selama bertahun-tahun ingatan tentang lelaki itu begitu menghantui langkah Abel. Bahkan ketika ia sudah bersama dengan yang lainnya, lelaki itu masih saja setia menghuni relung hati Abel. Tiba-tiba saja hatinya diserbu rasa bersalah. Logikanya mendesak menyuruhnya untuk mengatakan segera mengenai kebenaran yang ada.

Antara ingin mengatakan namun takut menyakiti. Tidak mengatakan malah lebih menyakiti lagi. Abel menghela napasnya kasar. Hari ini bagaimanapun, apapun yang terjadi, Abel harus jujur kepada Orion. Karena Orion berhak tahu semuanya sebelum ia melangkah jauh di jalan baru. Sebelum mereka berdua memantapkan hati untuk bersama. Sebelum Abel menjawab ajakan Orion itu. Ia tidak mau dianggap telah mengkhianati lelaki itu jika suatu saat nanti rahasia besar ini terkuak di tengah jalan mereka berdua. Ia juga tidak mau menyakiti lelaki baik seperti Orion. Tidak. Cukup dia saja yang merasa cintanya tidak bernasib baik. Lelaki itu jangan.

Yah Abel bertekat untuk memberitahu Orion. Karena lelaki itu harus paham bagian ini. Bagian yang selama ini benar-benar Abel simpan rapat-rapat.

Tidak sampai sepuluh menit Abel menunggu, sebuah mobil sport hitam datang. Yah itu Orion. Abel bergegas bangkit dari duduknya lalu mobil itu melaju ke jalanan.

Dalam perjalanan Abel diam saja. Padahal biasanya dia akan ribut dan sibuk memindah mindah tape yang ada di mobil Orion. Orion yang menyadari itu menepuk pundak Abel pelan.

"Are you okay? Hm?"

Abel yang sadar langsung menetralkan raut wajahnya. Ia sebisa mungkin menujukkan wajah baik-baik saja. Walaupun nyatanya Abel sangat gelisah sedari tadi. Bagaimana tidak? Ia sudah memikirkan banyak kemungkinan jika segalanya ia katakan kepada Orion. Apakah Orion akan menerimanya? Apakah Orion tidak akan marah? Apakah Orion tetap berada di samping Abel? Apakah Orion tidak akan meninggalkannya? Abel segera memecah gelembung-gelembung hitam yang sejak tadi membayanginya.

"Ah, aku gapapa kok." Abel tersenyum. Lihatlah senyumannya nyaris tidak menunjukkan kegelisahan. Wah Abel memang patut dipuji sebagai aktris drama.

"Beneran?" Tanya Orion memastikan.

Abel mengangguk, "Aku cuma laper."

Orion terkekeh pelan, "Lucunya. Iya-iya nanti makan ya yang banyak."

Abel tersenyum lagi. Ah Orion. Melihat tawa Orion membuat Abel semakin dirundung rasa bersalah yang mendalam. Yah ia sudah memantapkan hati. Hari ini mau tidak mau ia harus mengatakannya. Entah apa nanti reaksi Orion, yang terpenting dia sudah jujur dengan lelaki itu. Sudah jujur dengan keadaannya. Dan sudah jujur dengan dirinya sendiri tentunya.

Mereka berdua sampai di kafe rekomendasi Orion. Kafe itu memang sangat bagus, mrnyuguhkan pemandangan hambatan bintang dari ketinggian bukit. Sejenak Abel sempat terkesima dengan pemandangan di depannya. Akan tetapi sedetik kemudian rundungan rasa bersalah itu datang lagi. Sungguh ini benar-benar membuat Abel hampir gila.

-DEEP-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang