DEEP [TIGA PULUH SEMBILAN]

954 71 0
                                    

Jarum jam menunjuk pukul satu malam. Abel terjaga dari tidurnya karena mendengar nada panggilan yang tak kunjung berhenti.

Dengan berat hati, Abel bangun dari tidurnya dan membuka handphonenya. Pantas saja nada dering handphonenya itu tak berhenti. Ternyata ada sepuluh panggilan masuk dan beberapa pesan masuk. Abel mengerutkan dahinya samar. Nomer yang menelponnya ini tidak di kenal.

+6257485156xxx : Ini adeknya Varo ya? Gue Faisal temennya Varo. Lo cepet sekarang ke daerah parangtritis landasan pacu. Penting. Varo dalam bahaya.

Setelah membaca pesan itu jantung Abel berdetak tak karuan. Rasa khawatir mulai menggerogoti hatinya. Rasa kantuknya mendadak menguap tergantikan oleh rasa takut akan seseorang di sana.

Tanpa pikir panjang, dia langsung keluar rumah. Tak memperdulikan panggilan bundanya. Yang dia pikir sekarang hanyalah abangnya. Seperkian detik kemudian, mobil itu sudah meninggalkan rumah.

Jalanan pada saat itu sangat lenggang dan sepi. Abel menaikkan kecepatan mobilnya di atas rata-rata. Tak peduli gelapnya jalanan, dia tetap menerjang.

Satu jam perjalanan, Abel sampai di tempat yang di sebut oleh orang yang bernama Faisal tersebut.

Tak jauh dari tempat Abel berhenti, Abel melihat kerumunan orang-orang. Kerumuman itu seperti sedang menyoraki sesuatu.

Abel turun dari mobil dan mendekat ke kerumunan itu. Namun ketika dia akan mendesak masuk dalam kerumunan, ada seseorang yang menarik tangannya.

Baru saja Abel ingin berteriak, tapi orang yang menarik tangannya sudah membekapnya.

"Gue Faisal temennya Varo. Yang line elo tadi."

Setelah mengetahui orang yang menariknya itu adalah yang mengirim pesan line pada Abel, dia tidak jadi berteriak.

"Bang Varo kemana?"

"Varo—"

"Cepet bilang bang Varo dimana kak?" mata Abel berkaca kaca.

Faisal yang melihat itu jadi serba salah. Dia ingin memberitahu tapi takut Abel marah.

"Mending lo ke depan sana, masuk di kerumunan itu. Varo mau balapan mobil."

Setelah mendengar kata-kata itu, tanpa menjawab Faisal, Abel langsung melesak masuk ke dalam kerumunan. Dia tak peduli protes dari beberapa orang. Dan akhirnya dia ada di depan barisan.

Betapa terkejutnya Abel melihat apa yang ada di depannya. Dua mobil sudah berada di garis start. Bersiap-siap untuk melaju. Dan orang yang mengemudi mobil di depannya adalah abangnya, Varo. dan satu cewek sudah bersiap memberikan aba-aba dengan benderanya.

Tanpa berpikir panjang, Abel masuk ke dalam mobil yang di kendarai abangnya. Varo yang melihat adeknya sudah berada di sampingnya mengerutkan kening hingga alisnya menyatu. Raut wajahnya Varo langsung berubah menjadi marah.

"Lo ngapain di sini?"

"Elo yang ngapain di sini." jawab Abel sama-sama ketusnya.

"keluar sana." Kata Varo dingin.

"Gak. Kalo lo di sini gue tetep di sini. Lo mati gue juga ikut mati."

"Kenapa sih elo susah banget di bilangin?" Varo membentak Abel.

"Elo juga. Kenapa lo jadi berubah sih bang. Kenapa lo jadi kayak gini?" mata Abel berkaca kaca.

Varo mengusap wajahnya kasar. " Semua udah beda Bel. Semua udah gak sama."

"Iya bang gue tahu, tapi gak gini caranya. Pokoknya gue tetep mau di sini. Ikut sama lo."

Varo berdecak, " Terserah. Pegangan yang kenceng kalo mau kepala lo selamat."

Abel berpegangan pada bagian pegangan atas mobil. Di pakainya sabuk pengaman yang ada di dudukan mobilnya.

Cewek yang memegangi bendera itu bersiap memberikan aba-aba. Ketika bendera yang di bawa cewek itu di kibarkan, Varo menancapkan gasnya. Di susul mobil di sampingnya.

Jantung Abel berpacu cepat seiring Varo menambah kecepatannya. Mobil itu melaju di jalanan landasan pacu dengan kecepatan di atas rata-rata.

Abel hanya diam sambil merapalkan doa-doa. Berharap dia dan abangnya itu selamat. Bahkan dia memejamkan matanya agar tidak melihat mobil yang di tumpanginya berselip selipan sadis dengan mobil di sampingnya.

Entah kenapa tiba-tiba Abel merasa mobil yang di kemudikan kakaknya itu memelan dan berhenti.

Abel membuka matanya. Dan ternyata benar, Varo menepikan mobilnya.

Wajah Abel sudah pucat pasi, bibirnya memutih dan keringat dingin membanjiri wajahnya. Raut wajah Abel tampak ketakutan sekali.

Pelan, Varo membawa Abel dalam pelukannya. Ia merasa badan adeknya itu dingin. Jantungnya berpacu dua kali lebih cepat sampai-sampai Varo bisa mendengar detak jantung Abel.

Ini semua salah Varo. Varo lupa kalo adeknya ini takut dengan kecepatan. Karena ulahnya, Abel jadi begini.

Varo mengurai pelukannya.

"Dek, lo gak papa. Ada gue di samping elo. Maafin abang ya. Maaf." Varo menatap Abel dengan dipenuhi rasa bersalahnya.

Abel hanya diam.

Tes.

Air matanya tiba-tiba saja jatuh. Dengan sigap, Varo menghapus air mata itu. Dengan kedua tangan Varo, dia menangkup wajah Abel. Di tatapnya mata itu dalam-dalam.

"Maafin abang ya Bel. Maafin abang karena lari dari masalah ini dan ngebiarin Abel berjuang sendirian. Maafin abang. Abang khilaf. Abang bingung harus gimana. Abang merasa gak berguna sebagai kakak dan anak tertua di keluarga kita. Maafin abang." Kata itu sarat akan penyesalan.

Abel menatap abangnya itu. Hatinya merasa terenyuh mendengar abangnya berkata seperti itu. Abangnya yang lembut telah kembali. Abangnya yang mempunyai tatapan teduh telah kembali.

"Jangan tinggalin Abel ya bang? Jangan bilang Abang gak berguna buat Abel atau bunda. Abang itu berguna. Banget. Abang semangat bunda sama Abel. Abang jangan di ulangin lagi ya?"

"Iya Abel abang janji gak bakalan deketin minuman laknat itu lagi. Abang janji gak akan nyusain bunda. Abang janji gak akan ikut balapan mobil lagi. Kita pulang yuk?"

Abel mengangguk. Di elus elusnya puncak kepala Abel dengan sayang oleh Varo.

Hatinya kembali menghangat. Abangnya yang dulu telah kembali.

Baru saja Abel ingin memeluk abangnya, suara handphone mengintrupsi niatannya. Abel membuka notif itu.

Setelah membaca notif itu, kaki Abel melemah. Lutunya terasa lemas. Lidahnya kelu. Pikirannya mencerna semua yang di lihatya di pesan itu. Semua yang dibacanya di pesan itu.

Melihat adeknya yang terdiam mematung, membuat Varo merebut handphone Abel. Setelah membaca pesan itu, Varo melakukan hal yang sama Dengan Abel. Otaknya mencerna apa yang baru saja dibacanya. Hatinya diliputi rasa khawatir dan rasa bersalah yang membuncah.

Tanpa berkata apa-apa, Varo melajukan mobilnya meninggalkaan landasan pacu itu menuju alamat yang di kirimkan di pesan tadi. Perasaanya kacau. Pesan yang baru saja di bacanya membuat Varo merasakan perasaan campur aduk.

Sedangkan adeknya sudah seperti mayat hidup. Varo meraih tangan Abel. Menggenggamnya kuat-kuat seakan memberi kekuatan. Abel yang merasa tangannya di genggam semakin mengeratkan tangannya. Seolah olah mengatakan bahwa Abel juga ikut menguatkan hati Varo. Abel tahu abangnya itu juga rapuh bahkan lebih parah dari pada dirinya. Abel tahu abangnya ini butuh kekuatan juga. Kedua kakak beradik itu sama-sama menguatkan.

Tak ada yang di pikirkan Varo sekarang kecuali bagaimana caranya dia dan Abel cepat sampai sana tanpa halangan apapun.

Semoga gak terlambat, bertahanlah

🌊🌊🌊

-DEEP-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang