DEEP [TIGA PULUH ENAM]

964 75 0
                                    

Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Tanpa memberitahu sang pemilik rumah, Dekka mendatangi Nila. Dan di sinilah dia sekarang duduk di ruang tamu rumah Nila. Setelah bertemu dengan Abel tadi, Dekka menyakinkan akan mengatakan hal ini pada Nila. Dia akan jujur. Apapun itu resikonya dia siap tanggung.

Dari kejauhan, terlihat Nila menuruni tangga menghampiri Dekka.

"Sorry lama,"

"No problem," jawab Dekka santai.

"Sendirian? Gak sama Arel?"

"Enggak,"

"Tumben, biasanya kemana-mana selalu bareng."

"Lagi pengen sendiri aja ke sini," Dekka nyengir.

Sedangkan Nila hanya ber oh ria.

Setelah itu, lama terjadi keheningan antara mereka. Tak ada yang memulai percakapan lagi. Lingkup di antara mereka sangat canggung. Bagaimana tidak? Empat tahun tidak dalam posisi berdua dan saling berhadapan seperti ini membuat keduanya merasa aneh.

Dekka memberanikan menatap Nila. Di tatapnya mata itu dalam-dalam. Ada rasa yang tidak bisa di gambarkan oleh tatapan teduh itu. Ada sesuatu di dalam mata itu. Tapi Dekka lagi-lagi hanya diam tak berani bersuara atau sekedar menanyakan.

Dekka bingung harus memulai dari mana. Dia tidak tahu harus berkata apa lagi. Dia bingung. Dia tidak punya kata pembuka. Dia hanya punya intinya saja.

Dekka menarik napasnya dalam-dalam. Mengumpulkan segala keberaniannya untuk mengatakan hal itu.

"La?"

"Iya?"

"Gue—" Dekka mengantung kata-katanya.

"Iya?"

"Maaf,"

Nila mengerutkan dahinya samar, "Untuk?"

"Maaf Nila, gue ada rasa sama lo lagi."

Mulus kata-kata itua akhirnya keluar juga dari mulut Dekka. Kata-kata itu terucapkan tanpa adanya jeda.

Deg!

Jantung Nila berdetak tak karuan. Bukan karena dia juga merasakan hal yang sama, namun lebih cenderung kaget karena cowok di depannya ini sama saja baru mengungkapkan isi hatinya. Baru jujur tentang perasaannya.

Nila bingung. Rasa untuk Dekka ikut tenggelam bersama memori empat tahun lalu itu. Menurutnya Dekka adalah memori lawas yang harus di simpan pada tempat semestinya dan tidak akan dia buka lagi. Selamanya.

"Maaf Ka, gue gak bisa."

"Tapi La, apa rasa lo itu udah hilang ke gue?"

"Maaf Dekka gue gak bisa jawab hal itu. Mending lo pulang sekarang. Udah malem." Nada itu ketus dan dingin.

Tanpa menunggu jawaban dari Dekka, Nila meninggalkan Dekka begitu saja di ruang tamu.

Dekka menatap kepergian Nila dengan ekspresi yang sulit di jelaskan. Dia hanya diam di tempatnya. Tidak mengejar Nila atau sekedar memanggil namanya untuk menghentikan langkah gadis itu.

Dekka menghela napasnya. Dia tahu yang dilakukan ini terlalu berani. Dia tahu yang dikatakan ini terlalu dadakan. Namun Dekka harus menerima resikonya. Dia harus menerima apapun jawaban Nila.

Dengan berat hati dan perasaan kacaunya, Dekka pergi meninggalkan rumah Nila tanpa berpamitan. Melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata.

Sementara itu, Nila sekarang meringkuk di dalam kamar. Menaruh kepalanya di antara lututnya.

Kata-kata Dekka tadi terus berputar di otaknya. Bagai kaset rusak yang terus memutar kata-kata sama. Hati Nila di liputi rasa bersalah karena sudah berkata dingin kepada Dekka dan bimbang karena di hatinya sampai sekarang ini hanya untuk dia.

-DEEP-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang