DEEP [EMPAT PULUH EMPAT]

970 80 4
                                    

Abel masih berdiam diri di kamarnya. Ia sama sekali tidak ada niatan ingin keluar. Terlalu malas untuk menyambut mentari pagi sedangkan perasaannya saat ini sedang dalam keadaan senja. Pekat. Dan gelap.

Bahkan berulang kali pintunya di ketuk oleh Varo, tapi Abel tidak berniat membukakan pintu.

Abel semakin menutupi dirinya dengan selimut hingga tak terlihat. Matanya seperti di beri beban ber ton ton karena tidak tidur semalaman dan tentunya tak ketinggalan matanya membengkak gara-gara menangis semalaman pula.

Di saat dia ingin memejamkan mata, tiba-tiba terlintas di pikirannya untuk pergi dari kota ini. Pergi untuk menenangkan hati dan pikirannya dari kalutnya keadaan.

Dia harus pergi untuk sementara waktu. Menyembuhkan hatinya dari luka yang baru didapatnya. Jika dia tetap di sini, sama saja dia menyiksa dirinya sendiri.

Bagaimanapun Abel harus tetap melanjutkan hidupnya. Jika dia tetap di sini, kenangan tentang masa-masa bahagia dengan ayahnya akan terus berputar-putar sadis di kepalanya.

Yah. Dia harus pergi ke tempat di mana semua orang tak akan tahu. Dia harus pergi ke tempat itu. Tempat yang membuat Abel melupakan semua hal yang ada di sini. Baik kenangan baik maupun kenangan buruk. Dia harus menata hidupnya kembali di sana. Dia harus mulai merangkai hatinya kembali. Dan tentunya dia juga harus membuang rasa itu jauh-jauh. Rasa kepada dia yang membuatnya terluka untuk kesekian kalinya. Yah. Dia harus pergi jika ingin melupakan semua itu.

Abel bangkit dari tempat tidurnya. Dia mengambil koper besarnya. Menata semua baju bajunya. Perkara diizinkan atau tidak urusan belakangan. Yang penting niat Abel sudah bulat. Dia harus melakukan itu jika ingin melanjutkan hidup.

Tok ... Tok ... Tok ...

Abel berdecak ketika mendengar pintunya diketuk untuk kesekian kalinya.

"Abel sayang, buka nak, ada telpon buat kamu dari Ama kakaknya Gladis."

Mendengar kata Gladis, Abel langsung berhenti dari aktivitas mengemasi barangnya. Dia membukakan pintu untuk bundanya.

"Kak Ama?" Abel mengerutkan dahinya samar.

"Iya, Ama. Katanya ada yang mau dibicarakan sama kamu. Itu cepet di angkat telponnya keburu mati."

Abel mengangkat telpon itu. Begitu mendengar apa yang dikatakan Ama di telpon, lutut Abel melemas. Tangannya bergetar hebat. Otaknya mencoba mencerna semuanya.

Tanpa berpikir apapun, Abel langsung menyambar kunci mobil di atas kulkas. Dia langsung tancap gas ke alamat yang diberitahu Ama.

Dalam perjalanan, perasaan gelisah menyelimuti diri Abel. Membuatnya menyetir dengan kecepatan di atas rata-rata. Akhirnya dia sampai di tempat itu dalam waktu dua puluh menit.

Abel berlari seperti orang kesetanan. Mencari-cari nomer kamar yang dia baca lewat pesan yang dikirimkan oleh kakaknya Gladis.

Ternyata kamar itu ada di lantai 4 pojok kanan. Pelan, dia membuka pintu kamar itu.

Seketika itu juga lutut Abel langsung lemas. Kakinya serasa seperti jelly. Ia membungkam mulutnya sendiri. Pelan, air matanya jatuh begitu saja. Dia berpegangan pada dinding kamar itu. Takut jika kakinya tak sanggup menopang tubuhnya sendiri. Ama kakak Gladis yang melihat Abel seperti itu segera bangkit dari duduknya. Di tuntunnya Abel untuk duduk di sampingnya.

Tanpa ragu, Ama merengkuh Abel dalam pelukannya. Menenangkan sahabat adeknya itu. Setelah dirasa Abel cukup tenang, Ama mengurai pelukannya.

Abel masih terdiam meratapi sahabatnya yang terbaring lemah tak berdaya di tempat yang paling dibencinya. Dengan alat-alat laknat yang membantu Gladis tetap bertahan. Baru kemarin dia melihat ayahnya terbaring lemah di tempat yang di bencinya, sekarang malah sahabatnya sendiri yang terbaring lemah tak berdaya.

Sebenarnya apa yang terjadi dengan sahabatnya itu? Kenapa bisa berakhir seperti ini? Apakah ada sesuatu yang di sembunyikan Gladis dari Abel? Kemana Quinta dan yang lainnya? Apa mereka tidak tahu akan hal ini?

Abel menatap lekat-lekat orang yang dia kenal sebagai kakak dari Gladis. Mata orang di depan Abel ini menyiratkan perasaan menyesal yang mendalam. Ada apa sebenarnya?

"Kak, Gladis kenapa?" Akhirnya Abel bertanya juga.

Ama menatap Abel lekat-lekat. Menyusun kata demi kata untuk menjelaskan semuanya.

"Waktu itu Gladis pulang ke rumah dalam keadaan masih menggunakan pakaian olahraga. Dan dia pulang lebih pagi dari biasanya. Dia langsung masuk kamar. Mama yang tahu hal itu langsung ngejar Gladis sampai kamar. Ternyata Gladis masuk kamar mandi. Mama menggedor gedor pintu kamar mandi itu. Tapi sama sekali tak ada sautan dari Gladis. Yang ada hanya suara air yang mengalir begitu deras. Sampai akhirnya terdengar suara pecahan kaca dari dalam. Saat itu mama semakin panik. Dia manggil-manggil aku, adek sama papa. Semua jadi panik. Papa mencoba membuka pintu kamar mandi itu. Sampai akhirnya papa mendobrak pintu kamar mandi, dan saat itu juga kami semua kaget karena menemukan Gladis dalam keadaan tidak sadarkan diri dengan banyak darah yang mengalir dari bekas sayatan yang di buat. Tangannya masih memegang serpihan kaca. Lalu kami langsung membawa Gladis ke rumah sakit. Kata dokter dia mencoba bunuh diri. Kami semua kaget kenapa hal itu bisa terjadi. Padahal Gladis sama sekali gak pernah cerita kalo dia ada masalah besar. Dia udah koma 3 hari Bel." Terang Ama panjang lebar. Matanya berkaca kaca mengingat kejadian itu.

Abel diam. Mencerna kata demi kata yang dijelaskan Ama kakanya Gladis. Ada apa dengan Gladis? Kenapa dia sampai mencoba bunuh diri?

Saat itu juga Abel dirundung rasa bersalah. Kenapa dia tak mencoba bertanya pada Gladis tentang masalah apa yang dihadapinya. Dia merasa tidak berguna bagi Gladis. Kenapa sahabat yang satunya itu selalu tertutup tentang masalah yang berat? Apa yang tengah di sembunyikan Gladis dari Abel?

Perasaannya tambah kacau saja setelah mengetahui jika Gladis melakukan percobaan bunuh diri. Baru kemarin dia merasa kehilangan, dan sekarang apakah dia akan merasakan kehilangan untuk yang kedua kalinya?

Abel bangkit dari duduknya. Di hampirinya Gladis yang tengah berjuang dalam komanya. Dia menatap gadis di depannya.

Senyum itu berganti datar. Ceria Gladis di ganti dengan wajah pucat pasi. Rasa bersalah semakin membayanginya saja. Ia merasa tak tanggap dan tak peka terhadap sahababatnya yang satu ini. Dia tak pernah tahu apa yang dirasakan Gladis. Setahu Abel Gladis tak pernah punya masalah berat. Tapi nyatanya Gladis memendam masalah berat itu sendirian sampai dia tak kuat menanggungnya dan memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Tapi apa masalah berat itu? Tak ada yang tahu. Bahkan keluarga Gladis pun tak pernah tahu apa yang terjadi di balik si tertutup Gladis.

Maaf Dis, gue gak ada disaat lo lagi rapuh-rapuhnya. Kenapa lo gak cerita sama gue atau Quinta?

Abel mengambil handphonennya. Dia menghubungi Quinta berulang kali. Namun tak ada jawaban dari anak itu. Handphone anak itu tidak aktif. Abel berdecak. Kemana pula si Quinta? Apa dia tidak tahu kalau Gladis sedang ada di rumah sakit?

Baru saja Abel menghubungi Quinta, terdengar handphonenya berdering. Dan ternyata itu dari mamanya Quinta. Abel mengerutkan dahinya samar.

Tumben tante Astrid telpon?

Abel mengangkat telpon itu. Orang di sebrang sana berbicara dengan terbata bata. Ketika mendengar ucapan yang di katakan orang di sebrang sana langsung membuat hati Abel mencolos dari tempatnya. Abel membungkam mulutnya lagi. Tanpa berpamitan dengan Ama, Abel langsung berlari menuju parkiran. Dia menancapkan gas menuju rumah Quinta.

Perasaannya sekarang benar-benar sempurna kacau dan kalut. Dia tidak tahu lagi harus bagaimana. Yang dia lakukan sekarang hanya bisa merapalkan doa-doa untuk keselamatan dua sahabatnya di sana.

🌊🌊🌊

-DEEP-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang