DEEP [ENAM BELAS]

1.2K 96 0
                                    

Cek mulmednya dulu yuk  🔝🔝 , itu bukan gambar aja tapi ada sedikit quotesnya

.
..
...
....
.....
......

Abel menatap pintu rumah di depannya. Sungguh, dia tak ingin kembali lagi ke rumah ini. Dulu tempat ternyamannya adalah rumah di depannya. Tempat paling hangat yang selalu Abel rindukan. Tempat sumber bahagianya. Namun sekarang rumah adalah tempat yang paling di bencinya. Tempat terdingin melebihi kutub utara. Tempat sumber kesedihan ketika dia menginjakkan selangkah saja ke rumah itu.

Dengan segala ketidaksukaannya, Abel memasuki rumah itu. Rumahnya tak sehangat dulu lagi. Beku. Gelap. Dingin.

Baru saja Abel mencapai ruang tamu, terdengar suara bantingan kaca dari lantai dua. Abel menulikan pendengarannya. Menganggap dia tidak mendengar semua itu. Dia bergegas menaiki tangga. Dia takut terjadi sesuatu pada bundanya.

Ketika sampai di lantai dua, pemandangan miris terlihat di sana. Beberapa koper dan baju-baju berserakan di mana-mana. Bundanya terduduk di lantai sambil memunguti baju-baju yang dibuang.

Abel langsung menghampiri bundanya. Memeluknya. Keduanya menangis. Hati Abel teriris melihat perlakuan Ayahnya. Hatinya tercabik cabik.

"Pergi kamu dari rumah ini! Dan jangan pernah kembali lagi. Aku tak sudi melihat wajahmu lagi!" Suara Anto penuh kemarahan. Matanya seakan menyalakan kobaran api yang membara.

"Pergi? Mas pikir yang membangun rumah ini siapa? Semua biaya untuk membuat rumah ini dari aku! Mas gak berhak ngusir aku." jawab Bela tegas.

"Terserah. Aku beri waktu satu hari untuk kau angkat kaki dari sini!"

"Tega kau mas! Ini balasan kamu dari perjuangan kita? Setelah aku menemanimu dari nol, lalu setelah mas sukses aku di buang begitu saja?  Licik kau mas!" Suara Bela terdengar serak. Tatapannya begitu memilukan. Membuat siapa saja yang melihatnya tahu begitu kecewanya dia.

"Terserah! Aku tidak peduli! Yang aku mau kamu segera angkat kaki dari rumah ini!" Suara Anto penuh dengan penekanan.

"Biadab kau mas!" bentak Bela.

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipi Bela sampai membuat Bela berubah posisi dari semula.

"Cukup! Apa yang anda lakukan terhadap bunda saya?!" Suara bariton itu berasal dari Varo. Begitu dingin dan penuh amarah. Buku-buku jarinya memutih karena menahan emosi. Rahangnya juga mengeras.

"Kamu membela bunda mu Var?"

"Jelas. Karena bunda saya gak salah. Anda yang salah. Anda yang tak tahu berterima kasih. Saya pikir anda ini ayah yang baik dan bisa menjadi contoh bagi anak-anaknya. Tapi nyatanya apa? nihil!! Saya malu punya ayah seperti anda!" ucap Varo dengan nada tinggi dan dingin.

Plak!

Varo tertawa hambar setelah mendapati tamparan keras dari ayahnya. Ia mengusap sudut bibirnya yang berdarah."Tampar saja saya sampai puas jika itu membuat anda senang. Asal jangan sakiti bunda saya!"

"Kurang ajar ya kamu sama Ayah?!" emosi Anto memuncak.

"Ayah?" Lagi. Varo tertawa hambar. Tawa itu penuh keperihan."Saya rasa panggilan itu tak pantas disandang oleh anda."

Plakk!!

Tamparan itu lagi-lagi melayang begitu saja di wajah Varo.

"Cukup mas! Jangan sakiti Varo! Baik, Aku akan keluar dari rumah ini. Aku akan urus perceraian kita secepatnya!" 

"Bagus! Varo kamu mau ikut siapa?"

"Pertanyaan yang retoris. jelas saya ikut bunda. Mana mungkin saya ikut anda yang suka main belakang dengan wanita. Mau jadi apa saya jika hidup bersama anda?" Jawab Varo dengan nada mengejek.

Anto baru saja mau melayangkan tamparan ketiganya, namun dicegah oleh Abel.

"Cukup! Jangan sakiti bang Varo! Anda ini siapa sebenarnya? Anda bukan ayah yang saya kenal. Anda sudah berubah!" Abel menahan isakannya. Mata itu menyiratkan kekecewaan yang mendalam.

"Abel sayang, kamu ikut ayah kan?" Tatapan Anto melembut, berusaha membujuk putri kecilnya.

"Maaf, saya pikir anda adalah laki-laki yang tak pernah menyakiti saya. Saya pikir anda adalah laki-laki yang tak akan membuat saya terluka hingga mau mati rasanya. Tapi saya salah. Anda melakukan semua itu, bahkan lebih parah. Maaf. Saya ikut bunda. Karena saya sudah tak mengenal anda. Saya kecewa!" Untuk pertama kalinya Abel menggunakan kata-kata kasar. Menggunakan kata-kata membentak.

"Yasudah! Terserah kalian jika ingin hidup susah dengan bunda yang selalu kalian banggakan! Aku beri waktu satu hari untuk angkat kaki dari rumah ini. Kalau tidak aku yang akan mengangkati barang-barang kalian." setelah berkata seperti itu, Anto berlalu begitu saja meninggalkan mereka bertiga.

Varo mendekati adek dan bundanya.memeluknya.

"Adek gak papa kan?"

"Gak papa bang, I'm okay" Abel menunjukkan senyumnya.

Padahal jika mau jujur hatinya begitu lelah rasanya. Dia begitu tak percaya dengan apa yang terjadi di keluarganya. Kekecewaan terhadap ayahnya sekarang sudah mengakar begitu dalam. Menancapkan luka baru yang mungkin butuh pemulihan seumur hidup.

"Maafkan bunda ya, gara-gara bunda kalian jadi ikut di maki." Bela terisak menatap kedua anaknya.

"Gak papa bunda,kita hadapi sama-sama ya?" Varo menatap bunda dan Abel.

Keduanya mengangguk.

"Kita tinggal di rumah yang bunda beli dulu ya, memang gak sebesar rumah ini, tapi setidaknya kita ada tempat tinggal."

"Gak papa bun, yang penting kita sama-sama terus." Abel tersenyum ke arah bundanya.

"Yaudah, sekarang Varo sama Abel beres beres barang kalian ya, besok pagi sehabis subuh kita berangkat."

keduanya mengangguk.

Abel memasuki kamarnya. Mengambil kopernya. Mengemasi barang-barang dan bukunya sambil menahan isakan. Dunianya berubah 180 derajat secara mendadak. Di jungkir balikkan tanpa permisi.

Jgreg!

Suara pintu kamar Abel terdengar. Ternyata Varo abangnya.

Varo mendekati adeknya. Duduk di sampingnya. Lalu memeluknya.

"Kalo mau nangis ya nangis aja. Jangan di tahan. Gak baik. Sesuatu yang menyesakkan itu harus di keluarkan. Jangan ditahan sendirian. Kamu bisa berbagi sama abang. Abang gak mau lihat Abel sakit sendiri."

Abel hanya mengangukkan kepalanya. Sejurus kemudian, cairan bening itu mengalir dengan deras. Malam itu seorang Abel lagi-lagi menunjukkan rapuhnya.

"Udah malem, tidur yuk? Abang temenin Abel malam ini."

Varo menuntun adeknya ke tempat tidur. Mengelus elus puncak kepala adeknya agar dia cepat tidur.

Diam-diam Varo meneteskan cairan bening dari matanya. Diam-diam dia menangis.

"Maafin abang ya dek, karena kamu harus ikut nanggung ini semua."

Varo menghapus air mata sialan yang mengalir tanpa direncana. Ia harus kuat. Ia tidak boleh lemah di hadapan adeknya. Jika dia lemah, lantas siapa yang akan menjadi penguat di antara bunda dan adeknya?

Namun mengingat kembali kejadian kemarin dan tadi membuat dadanya juga sesak. Orang yang selama ini menjadi panutan hidupnya, orang yang selama ini menjadi landasan pegangan dalam memperlakukan orang dengan selayaknya, kini semua gambaran itu sirna. Semua hanya tinggal angan saja. Ayah yang selalu tersenyum dengan kehangatannya kini berubah menjadi letupan magma yang siap menerjang siapa saja yang menghalangi. Ayah yang selalu dengan kelembutannya, kini menjadi orang yang ringan tangan tanpa mempertimbangkan resikonya.

Kini perih tersisa di relung hati Varo. Menghunus kalbunya. Menorehkan luka baru yang tak pernah ada obatnya. Semua kenangan baik sirna begitu saja.

Ayah, kemana jati dirimu yang sebenarnya?

🌊🌊🌊

Jangan lupa vote and comment ya (:
Salam jomblo!

-DEEP-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang