DEEP [DUA BELAS]

1.5K 109 0
                                    

Hari kamis adalah jatahnya Abel ekskul tari. Walaupun begajulan begini, Abel terampil dalam bidang seni tari. Bakatnya menurun dari neneknya yang dahulu seorang pemain ketoprak sekaligus penari sedangkan kakeknya seorang dalang.

Abel menyeka keringat yang mengalir dari pelipisnya dengan handuk. Diliriknya jam dinding di samping kanannya. Jam 17.00 WIB.

Tak terasa waktu latihan sudah selesai. Hari sudah menginjak petang. Abel berkemas kemas lalu meninggalkan ruang tari.

Ia berjalan menyusuri koridor menuju depan sekolah. Hari ini dia pulang naik taksi karena tidak membawa mobil.  Suasana sekolah sudah sepi. Hanya ada beberapa anak saja yang masih di sekolah. Itupun karena ada ekskul. 

Dia duduk di pos satpam. Sudah hampir setengah jam dia menunggu, namun taksi tak kunjung lewat. Padahal jam sudah menunjukkan hampir pukul setengah enam sore. Dia pasti akan terlambat sampai di rumah.

"Nunggu siapa?"

Suara berat itu membuat Abel menoleh ke samping dan mendapati sosok cowok yang dia kenal.

"Taksi."

"Mau bareng? Kalo nungguin taksi bisa besok dapetnya. Kalo gak mau sih ya gakpapa."

Abel menimang nimang tawaran cowok bernama Gilang itu.

"Yaudah deh," Abel pasrah, dia naik ke atas motor. Kemudian motor itu melaju cepat meninggalkan sekolah.

Dalam perjalanan hanya ada keheningan, tak ada yang membuka pembicaraan. Sampai pada akhirnya Abel buka mulut karena motor yang ditumpanginya bukan menuju ke arah rumah.

"Rumah gue kan bukan lewat sini."

"Emang bukan, gue mau ngajak lo ke suatu tempat."

"Lah kan gue belum jawab dan lo belum nanya."

"Waktu itu kan gue pernah bilang kalo lusa gue mau ngajak lo ke suatu tempat."

Belum sempat menjawab omongan Gilang, motor yang ditumpangi mereka berdua berhenti di depan sebuah pemakaman umum. Abel hanya diam tak bertanya apa-apa. Dia turun dari motor mengikuti langkah Gilang dari belakang.

Mereka berhenti di depan sebuah makam dengan nisan yang sudah berwarna agak kecoklatan termakan waktu. Gilang berjongkok di samping gundukan tanah itu. Di gantinya bunga yang sudah layu dengan bunga yang baru.

Abel ikut berjongkok di samping gilang. Abel membaca seksama tulisan yang tertera di nisan itu.

Anindya Maya Fitriani, Lahir :  14 Februari 2000, wafat : 26 Mei 2015.

Abel terdiam. Nampaknya nama yang tertera di nisan ini adalah orang yang berarti bagi Gilang. Buktinya air muka Gilang langsung berubah menjadi sedih.

Gilang juga terdiam. Sudah lama dia tidak mengunjungi gadis yang sudah tenang di alam sana. Rindu mencekiknya ketika dia berada di depan gundukan bertanah tempat peristirahatan terakhir gadis itu.

"Hei May, apa kabar? Maaf ya aku lama gak ke sini. Kenalin May ini Abel, dia cantik, tapi dia judes. Tapi aku yakin May dia itu ramah dan baik kok. Baik-baik ya May di sana. Kamu bahagia kan di sana? Semoga iya May." Gilang tersenyum ke arah gundukan bertanah itu. Matanya nyaris memerah.

"Udah ya May, Aku pamit dulu. Aku janji bakalan sering-sering ke sini." Gilang mengelus elus nisan itu. Lalu beranjak pergi begitu saja. Sedangkan Abel membuntuti dari belakang.

Sepanjang perjalanan, Gilang terdiam. Abel jadi serba salah. Sebenarnya rasa kekepoannya sudah memuncak, namun ia tahan sedari tadi. Takut dia salah tanya dan menyinggung perasaan Gilang.

-DEEP-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang