Diam-diam adalah caraku untuk memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Aku tidak ingin melukai perasaan kamu hanya dengan kesalahpahaman ini walaupun aku belum tahu pasti untuk siapa hatimu sebenarnya
-Deva-Rafly mengacak-acak rambutnya frustasi. Terlalu emosi untuknya saat ini jika harus bertemu dengan Dira untuk menjelaskan semuanya. Namun, memang ia salah sejak awal. Tidak seharusnya ia berbohong pada Dira, setidaknya jika ia jujur mungkin masalahnya tidak akan menjadi rumit seperti ini.
Rafly menghela napasnya sebentar.
"Dari awal emang seharusnya saya jujur dan nggak buat Dira menaruh harapan lebih terhadap saya."
Ting!
Satu pesan masuk ke ponsel Rafly, ia segera mengeceknya. Ternyata pesan dari Bunda Dira. Kurang lebih isinya seperti ini, 'Apa kabar nak? Bunda kangen loh, segera ke rumah, ya. Bunda tunggu.'
"Saya nggak cuma bikin Dira kecewa, tapi saya juga bikin Bunda dan Mama kecewa."
Satu malam yang membuat kehidupan Rafly menjadi gelap yang membuat miliknya perlahan menghilang dari genggamannya. Jujur saja, jika ditanya tentang perasaan, Rafly masih sangat menyayangi Dira. Namun, tidak sepenuhnya. Karena sebagian itu sudah diberikan secara 'kasihan' pada Hana.
"Saya harus tanggung jawab atas semua sikap saya selama ini. Tapi, saya butuh bantuan seseorang." Ucap Rafly kemudian ia berdiri dan langsung berlari keluar rumah.
***
"Mata kamu sembab gitu, kenapa?" Tanya Bunda sembari menaruh nasi di piring Dira.
Melihat Dira yang tak kunjung menjawab, Bunda geram lalu bertanya lagi, "Habis nangis?"
Bukannya menjawab pertanyaan Bunda, Dira malah melenceng dari topik pembicaraan, "Aku nggak mau makan nasi hari ini, nggak lapar."
"Ya udah kamu makan roti, ya?"
"Aku bawa ke kantor aja, Bun."
"Bunda siapin dulu, ya."
Dira sangat ingin bercerita tentang kejadian kemarin pada Bundanya, namun sayang Dira takut Bundanya kecewa terhadap Rafly. Padahal Bunda sudah menaruh harapan besar pada Rafly untuk membahagiakan Dira.
"Cerita dong, ada masalah di kantor?" Tanya Bunda sembari memberikan kotak makanan pada Dira.
"Nggak kok, aku berangkat, ya, Bun."
***
Dira berpapasan dengan Deva, matanya saling bertemu namun mulutnya tidak saling sapa bahkan untuk tersenyum pun tidak.
Dira berhenti sebentar, lalu menengok ke belakang, Dira kira Deva akan berhenti namun ia tetap melanjutkan langkahnya. Entah kenapa, Dira berharap Deva bisa menjadi moodbosternya hari ini. Namun, itu hanya harapannya, tidak baik berharap berlebihan pada manusia.
Dira melanjutkan langkahnya, sedangkan Deva menoleh ke belakang memastikan Dira baik-baik saja setelah kejadian kemarin. Ia tidak berani menyapa, takut Dira sedang malas untuk mengobrol, maka lebih baik ia diam.
Dua orang yang kini diam-diam saling memberi perhatian, namun diam-diam memberi luka juga.
Deva sedang berada di ruangannya, memikirkan ternyata orang sepolos Dira bisa memiliki kekasih juga. Deva jadi bingung bagaimana suasananya ketika Dira sedang mengobrol romantis bersama pacarnya dulu? Membayangkan hal itu membuat Deva bergidik ngeri.
Deva mengambil satu foto di laci mejanya, tertulis tanggal 2016 di belakang foto tersebut. Deva membalikkan fotonya, terpampang jelas dua orang yang sedang tersenyum pada foto itu. Satu laki-laki dan satu orang perempuan.