Alih-alih berusaha sembuh dari luka nyatanya aku tetap berusaha ingin bahagia sembari menunggu luka itu datang.
***
Saat mencoba membangun kehidupan baru, tentunya dengan perasaan yang baru selalu banyak cobaan yang datang menghampiri Dira. Seperti, Dira dibuat goyah akan keputusannya menjauhi Rafly namun tiba-tiba Rafly menjadi lebih hangat kepadanya. Tentu, Dira belum melupakan alasan mereka mengakhiri hubungan. Masih terekam jelas hari itu saat Dira tau yang sesungguhnya.
Dira selalu berdoa agar hatinya mencoba ikhlas saat dirinya bertekad untuk menghapus Rafly dari kehidupannya. Walaupun kalian semua tau, ikhlas itu bohong yang benar adalah terpaksa. Tidak apa-apa untuk sekarang terpaksa, mungkin nanti akan menjadi terbiasa.
Dira benar, ia tidak mau melawan takdir yang sudah digariskan oleh Tuhannya, mungkin memang ini salah satu cara Tuhan mengingatkan untuk selalu bergantung pada-Nya.
Masalah Deva yang sudah mengutarakan isi hatinya kala itu masih membuat Dira canggung untuk sekedar berbicara dengan Deva. Seperti ada dua tembok yang menghalanginya kembali seperti dulu—menjadi orang yang ramah terhadap semua orang—tembok yang pertama sudah jelas karena mereka berbeda, tembok selanjutnya adalah gengsi dan egois. Bukan Deva yang egois, melainkan Dira. Selama satu bulan ini, Deva selalu terang-terangan memperlihatkan rasa kagumnya mulai dari mengajak makan hingga bertukar kabar setiap hari.
Tidak merasa risi atau apapun, Dira malah senang Deva memberi kabar padanya. Selalu menunggu kabar dari Deva setiap malam adalah rutinitasnya, tetapi ketika sudah bertemu di kantor vibes mereka tidak seakrab di media sosial, ralat, bukan mereka tetapi hanya Dira. Sudah dikatakan bahwa Dira memang gengsi.
Seperti sekarang ini mereka tengah makan di kantin tempat kerjanya, selalu menjadi pusat perhatian ketika mereka tengah berdua seperti ini. Namun, Deva biasa saja. Berbeda dengan Dira yang selalu merasa tidak nyaman menjadi konsumsi umum. Selalu terdengar bahwa Dira hanya modal tampang bukan skill karenanya ia bisa di terima sebagi sekretaris Deva. Ada juga yang sering menyinggung soal perbedaan mendasar mereka, rasa ingin menerkam mereka semua selalu saja ada di pikirannya.
"Kenapa?" tanya Deva yang melihat Dira melamun membiarkan makanan di depannya dingin.
Dira tersadar, "Nggak apa-apa." katanya.
"Nggak usah diladenin lah orang-orang kayak gitu. Kalau terus di dengerin, malah bikin sakit kuping." ujar Deva lalu menghabiskan suapan terakhirnya.
"Siapa juga yang mikirin mereka."
"Bagus. Mikirin saya aja, ya."
Dira menatap dengan jijik, "Kepedean banget sih."
"Nggak ada setiap hari pun kalau saya nggak mikirin kamu."
Awkward. Itu yang Dira rasakan. Bagaimana cara menjawab gombalan yang tepat?
"By the way, ini kantor bukan taman kencan, Pak."
"Saya juga tau ini kantor, siapa yang bilang ini taman kencan?"
"Ya, nggak ada.."
"Masih belum ada kepastian, ya, Dir? Saya sebenarnya nggak sanggup kalau harus bersaing sama Tuhan kamu, masa kamu mau buat saya berada di ujung jurang juga? Jangan nambah beban dong." ungkap Deva.
Dira tersenyum, "Nggak ada yang nyuruh Bapak buat bersaing sama Tuhan saya. Karena itu nggak mungkin."
"Saya juga nggak mau memaksa takdir kok, Pak. Saya mau hidup yang normal-normal aja."
"Kalau saya minta kisah ini berlanjut gimana?" tanya Deva.
"Bapak mau ninggalin Tuhan Bapak hanya karena perempuan?"