Untuk bertahan saja, aku sudah tidak mampu
***
noted : Bacanya sambil dengerin musik galau, boleh tuh.
Happy reading!
Rafly sangat menyesali perbuatannya hari itu, andai saja Rafly tidak tergoda untuk pergi ke klub malam itu, mungkin untuk bertemu dengan Hana adalah hal yang mustahil.
Entah bagaimana bisa, Rafly mabuk untuk yang pertama kalinya. Godaan setan bisa datang kapan saja dan di mana saja, ketika itu Rafly bertemu secara tidak sengaja dengan Hana.
Entah bagaimana ceritanya, Rafly bisa tidur dengan Hana malam itu. Saat melakukannya, Rafly tidak ada penyesalan sama sekali, namun ketika ia pulang ke Indonesia dan bertemu Dira, ia merasakan patah hati yang teramat dalam karena telah mengkhianati Dira.
Senyumannya yang berusaha ia tampilkan saat bertemu dengan Dira pertama kali setelah 3 tahun lamanya mereka tidak bertemu, saat itu kondisinya Dira sedang merayakan keberhasilannya. Mana mungkin Rafly membawa kabar buruk untuk Dira sedangkan Dira pasti menunggunya dengan sangat setia?
Semenjak Hana ikut menyusul Rafly ke Indonesia, Rafly berubah menjadi orang yang tempramen, ia akan mudah marah jika ada hal yang ia tidak sukai. Bahkan, Rafly sering menghabiskan waktunya sendiri. Rafly juga banyak berubah terutama dalam hal kunjungan pada Mamanya. Biasanya ia seminggu sekali akan bertemu dengan Mamanya, namun setelah 1 bulan ini Rafly belum mengunjungi Mamanya sama sekali.
Benar, Rafly sangat merindukan Mamanya, namun ia juga teringat akan hal-hal yang bahkan sampai saat ini ia tidak sangka bisa melakukannya. Tiap kali melihat Mama, Rafly langsung sangat merasa bersalah dan merasa gagal menjadi anak yang baik.
Seperti sekarang ini, Rafly hanya bisa menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong padahal banyak sekali yang harus ia data.
Rafly membuka kembali laci yang terdapat foto Dira. Foto yang selalu ia bawa kemana pun dan kapan pun, sepertinya sebentar lagi akan lepas dari genggamannya. Rafly menatap nanar pada Dira yang tersenyum dengan membawa satu tangkai mawar merah yang Rafly pernah berikan padanya sewaktu wisuda. Rafly tidak sanggup melihat kenyataan bahwa Dira pasti akan sangat kecewa jika ia jujur tentang semuanya.
"Dira, aku ngerasa nggak becus jadi pacar kamu." Ucap Rafly bermonolog.
"—Aku ngerasa nggak pantes buat jadi imam kamu nanti."
"Kamu berhak dapet seseorang yang jauh lebih baik daripada aku, Dir."
***
"Telepon Rafly nggak, ya?"
Saat ini Dira sedang istirahat namun ia tidak ikut keluar untuk makan bersama yang lainnya. Bahkan, saat Deva mengajaknya untuk makan di kantin pun Dira menolaknya. Dira tidak mau menjadi buah bibir para karyawan di sana di tambah lagi Dira yang sedang tidak mood untuk melakukan apa-apa.
"Nggak deh, takut lagi sibuk." Ucap Dira sambil meletakkan ponselnya.
Dira mengecek jadwal selanjutnya untuk Deva, ternyata Deva mempunyai jadwal temu dengan klien di restoran Grane.
Tunggu, ini 'kan restoran favorit Dira dan Rafly, apakah Dira harus pergi ke sana tanpa Rafly?
Tiba-tiba ada yang meletakkan satu porsi makanan di mejanya namun orang itu pergi begitu saja.
"Lho—tapi, Pak—?"
Siapa lagi kalau bukan ulah Deva. Sangat perhatian bukan?
Tiba-tiba mood Dira berubah, ia jadi ingin makan. Kebetulan Deva memberi makanan, jadi Dira tidak perlu repot-repot pergi ke kantin. Namun, hal apa yang membuat Dira menjadi semangat lagi? Apa karena ia akan pergi ke restoran Grane atau karena Deva memberikan makanan padanya?