Kenyataannya kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama
***
Deva berdiri di depan meja sekretaris menatap kosong pada objek tersebut. Tatapan yang lurus ditambah kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya.
"Bapak nyari Dira, ya?" Tanya Wita yang tiba-tiba datang di sebelah Deva.
"Dira kemana?" Tanya Deva.
"Dia hari ini izin nggak masuk katanya ada acara keluarga."
Deva mengerutkan keningnya, "Emangnya Dira udah nikah? Kok ada acara keluarga?"
"Ya mana saya tahu, Pak. Saya bukan keluarganya."
"Saya permisi, Pak."
Deva menghela napasnya berat, "Kamu kenapa lagi sih?" Keluh Deva.
***
Rafly hendak membuka pintu mobilnya namun tangannya dicekal oleh seorang perempuan. Rafly menoleh, kemudian ia menghela napasnya sebentar dan menyandarkan punggungnya ke mobil.
"Kamu belum jelasin apa-apa sama aku, Raf." Ucap Hana dengan tatapan kesal.
Bagaimanapun juga, Hana korban dari sebuah kebohongan yang telah Rafly dan temannya lakukan. Andai Hana tahu Rafly sudah memiliki kekasih, maka ia tidak mungkin berusaha untuk jatuh cinta pada Rafly.
"Kamu mau gimana?" Tanya Rafly.
"Kamu udah bohongin aku, kamu juga udah selingkuhin aku."
"Sejak kapan kata 'selingkuh' berlaku buat kita?"
"—Kita nggak punya status apa-apa." Sambung Rafly.
Hana tertawa sumbang, "Setelah apa yang udah aku kasih ke kamu dan kamu masih belum anggap aku apa-apa?"
Rafly menaikkan sebelah alisnya, "Dan sejak kapan aku mau sama tubuh kamu secara sadar?"
"Kamu itu—"
"Cukup! Berhenti mengoceh, lanjutin urusan kamu. Aku mau berangkat ke kampus. Kita bahas ini nanti." Ucap Rafly dengan tegas.
Rafly masuk ke dalam mobil lalu menjalankan mobilnya, sedangkan Hana masih mematung di tempat. Semakin hari Rafly semakin melunjak kepadanya. Kalau seperti ini akan semakin sulit untuk mendapatkan hati Rafly.
"Gue harus ubah strategi dan gue nggak mau kehilangan harga diri gue lagi." Ucap Hana.
Hana mengambil ponselnya kemudian mengetikkan 'Pretty Boy' lalu menghubunginya.
"Lo harus datang besok ke tempat biasa! Kita ubah strategi."
"Gue nggak bisa. Ada meeting di kantor."
"Lo harus bisa!"
"Gue usahain."
Hana mematikan sambungan teleponnya. Hana rasa orang itu setengah-setengah jika melakukan sesuatu. Hana pikir orang itu terlalu khawatir pada Dira sehingga tidak bisa melangkah lebih jauh lagi.
***
"Kok bisa sakit?" Tanya Ghea yang kini tengah berdiri di dekat pintu kamar Dira dengan memasang wajah yang muram.
Sedangkan Dira menatap Ghea dengan kebingungan, "Lo tau gue sakit dari siapa?" Tanya Dira.
"Dari nyokap lo." Jawab Ghea sambil menghampiri Dira.
"Kok bisa sakit? Tumben banget." Sambung Ghea
"Gue kecapekan aja, Ghe."
"Nggak yakin gue,"