Setelah berputar-putar di pusat kota melihat suasana malam yang ramai dan padat akhirnya Dira turun untuk membeli macaron yang di pesan oleh Bunda. Setelah selesai mengambil pesanan, Dira menyebrang berniat untuk membeli minum. Namun, alangkah terkejutnya ternyata Dira terserempet motor yang melaju sangat kencang.
Lukanya hanya sedikit, namun rasa terkejutnya sangat kuat. Pelakunya menengok dan Dira melihat sekilas tapi pandangannya seperti buram. Namun, Dira sepertinya mengenal orang yang ada di motor itu.
Deva yang melihat kejadian itu di dalam mobil langsung bergegas keluar dan menghampiri Dira di pinggir jalan. Dira masih syok dengan kejadian barusan. Deva agak rewel terhadap Dira.
"Kamu kenapa sih bisa ceroboh gitu?"
"Coba kalau kamu liat-liat pas mau nyebrang mungkin nggak akan nih luka-luka kayak gini."
Dira meringis kesakitan. Dirinya masih terkejut ditambah omelan Deva yang membuatnya semakin sakit padahal lukanya kecil.
"Saya nggak apa-apa. Lukanya juga kecil. Saya juga bukan nggak hati-hati, tapi, motor itu cepat banget lewatnya." kata Dira cari pembelaan. Tapi, faktanya memang begitu kok. Dira tidak salah, jelas-jelas Dira sudah tengok kanan kiri sebelum menyebrang.
"Ya, terus saya harus salahin siapa lagi selain kamu?" tanya Deva.
Dira mengerutkan keningnya. "Kok jadi mempermasalahkan harus salahin siapa? ini musibah, Pak. Saya juga nggak pengin ini terjadi."
"Emang kamu mau ke mana sih kok bisa nyebrang? 'kan cuma beli macaron doang. Tuh, liat macaronnya jadi ancur berantakan. Buang-buang uang tau nggak."
Huh.
Dira lagi-lagi menghela napasnya. Kadang suka bingung dengan sikap Deva yang terlalu overprotective. Dalam kejadian ini, Deva masih bisa-bisanya menyalahkan dirinya yang jelas-jelas dia korban di sini, sedangkan motor itu malah melarikan diri. Lalu, mempermasalahkan macaron yang berserakan, di kira Dira akan minta uang ke Deva hanya untuk membeli macaron lagi. Oh, tidak bisa. Deva harus tau, dirinya adalah anak sultan.
"Masalah macaron saya bisa beli lagi kok. Tadi, saya mau beli minum ke sana makanya nyebrang." kata Dira.
Deva membantu Dira berdiri, niat hati ingin membeli macaron lagi tapi sudah habis dan tokonya hampir tutup karena ini sudah sangat malam.
"Pak, antar saya cari macaron dulu, ya, di sana habis katanya." pinta Dira.
Deva melihat jam ditangannya. Pukul 21.15 "Ini udah malam, nggak akan ada toko macaron yang masih buka."
"Ada, di belakang kantor kita itu masih buka sampai jam 11 malam."
"Kalau masih ada, kalau nggak?"
"Ya, 'kan di coba dulu."
"Iya, saya tanya, kalau sold out gimana?" tanya Deva kesal.
"Ya, pulang.. emang kenapa?"
"Terus ngapain ke sana kalau nggak dapat apa-apa?"
Dira menghela napasnya, menyandarkan tubuhnya ke kursi mobil. Mungkin hal yang harus dilakukannya kali ini adalah diam. Banyak omong untuk perdebatan kecil sangat membuang tenaga. Sering sekali antara Dira dan Deva terjadi hal-hal seperti ini. Namun, sebentar lagi mereka juga akan akur lagi.
"Pulang, ya?" pinta Deva.
Dira mengangguk tanpa melihat ke arah Deva. Memejamkan mata sambil merasakan perih di sikunya yang agak lecet. Tidak terasa, Dira sudah sampai di rumahnya. Deva tidak berpamitan kepada Bunda karena katanya sudah larut malam. Ya, Dira memakluminya.