Putus hubungan cuma karena salah paham itu nggak enak
-Randy-"
Lo kenapa nggak bilang kalau ternyata mereka berdua pacaran?" Tanya Hana dengan intonasi keras.
"Gue hampir gagal buat dapetin Rafly, asal lo tahu." Sambungnya
"Bukannya lo udah gagal?" Tanya laki-laki yang duduk di depan Hana
"Nggak! Gue belum gagal!"
"Ya terus?"
"Lo harus bantuin gue."
Laki-laki itu mengancingkan lengan kemejanya, sembari berkata, "Gue harus bantu apa? Ini udah buntu. Lo nggak bisa lanjutin perasaan lo lagi ke Rafly."
Hana menampilkan senyum smirk, "Lo mau nyerah buat dapetin Dira? Bukannya lo udah nunggu selama bertahun-tahun?"
"Gue bukan nyerah, tapi sadar diri."
"Harusnya dari dulu sadar diri. Masa baru sekarang setelah kita hancurin hubungan mereka? Ayolah, selangkah lagi."
Laki-laki itu tampak berpikir sejenak. Memang benar, rencananya sudah jauh tinggal selangkah lagi untuk mendapatkan Dira. Bukankah dari awal memang niatnya ingin memiliki Dira? Lalu mengapa sekarang tiba-tiba mundur?
"Please, oke? Dosa nggak usah tanggung-tanggung." Bujuk Hana, si perempuan berhati Iblis.
"Gue setuju."
Hana tersenyum penuh kemenangan.
***
"Pusing banget aku mbak!" Ucap Dira sembari menghampiri Wita.
"Pusing kenapa toh?" Tanya Wita
"Tadi aku telepon pihak Visma Group tapi orangnya marah-marah terus gara-gara meeting kali ini dibatalin. Dia bilang kalau perusahaan kita nggak profesional. Padahal yang batalin janji 'kan Pak Deva, ngapain bawa-bawa aku." Gerutu Dira
Wita tersenyum, "Ya namanya juga perusahaan, pasti yang kebawa itu ya bagian paling besarnya. Contoh deh, kayak misalkan suatu hubungan. Kita tuh nggak bisa hanya bergantung pada satu orang, kita butuh dua orang untuk saling memahami."
Dira mengerutkan keningnya, "Maksudnya gimana, Mbak?"
"Ya intinya kamu jangan selalu menyalahkan satu pihak, tapi coba kamu lihat apa dari kamu ada yang salah atau nggak."
Dira masih tidak mengerti, "Udahlah, aku tetap nggak ngerti, Mbak. Aku balik ke tempat aku dulu, ya."
"Eh tunggu sebentar!" Cegah Wita
"Aku mau nanya ini, emang harus banget ya konfirmasi ke Pak Deva langsung?" Tanya Wita terkait proposal yang hendak ia ajukan untuk acara minggu depan.
"Ya harus lah, apalagi ini berkaitan sama acara sepenting ini."
Wita memajukan bibirnya, "Aku tuh males banget kalau harus berhadapan sama dia. Bawaannya kesel terus."
Dira terkekeh, "Ya sama, Mbak."
"Saya cariin di tempat nggak ada, ternyata lagi rumpi di sini?" Ucap Deva yang tiba-tiba datang dengan wajah menyebalkan.
"Bapak habis dari mana?" Tanya Dira
"Kepo."
Dira memicingkan matanya, "Gara-gara Bapak, saya—"
"Sst! Kalau mau marah-marah jangan di tempat umum." Ucap Deva sembari berlalu.
Dira masih menatap tidak percaya, mulutnya masih sulit tertutup. Bisa-bisanya Deva masih terlihat santai setelah membatalkan meeting penting perusahaannya sendiri?