Sudah pukul tujuh malam, tapi Gadis menolak keluar dari kamarnya. Bahkan kamarnya dia biarkan gelap tanpa sinar lampu, seakan dia tak ingin terlihat. Rasanya dia ingin sembunyi di dasar bumi agar tak ditemukan oleh siapapun. Terutama oleh Satria. Merasa bodoh dan malu itulah yang menderanya kini, dan sedikit rasa kesal di hatinya. Meski tadi, Satria sudah berkali-kali minta maaf dengan mengetuk pintu kamarnya bahkan hampir satu jam pemuda itu berdiri di depan pintu kamarnya. Andai bukan suara adzan maghrib yang terdengar tadi, Satria mungkin masih akan berdiri di sana sambil terus mengucap maaf.
"Sayang. Buka pintu dong!" Farah mengetuk pintu. Ada khawatir yang dia sembunyikan dalam suaranya. Putrinya pernah mengalami hal yang sama, bahkan lebih buruk dari ini. Kecewa dengan dia yang dia percayai. "Bunda nggak baik-baik saja sekarang. Pengen lihat kamu."
Gadis, tentu tak akan tega jika sang Bunda sudah memohon begitu. Dia adalah segalanya bagi gadis yang bermuka sembab yang duduk di kegelapan itu. Berjalan gontai, dengan baju yang sama sejak pulang dari kampus tadi, bahkan mahkotanya acak-acakan.
Perlahan dia buka pintu bagi Farah yang dengan gemetar menunggu putrinya keluar. Dia takut kejadian buruk serupa akan terulang lagi. Tidak. Farah tak mau itu.
"Sayangnya Bunda." Farah menghambur memeluk sang putri saat pintu terbuka sempurna.
"Maafin Gadis, Bunda jadi cemas gini." Bisik gadis itu di telinga sang Bunda yang ia tahu bahwa wanita yang melahirkanya itu sedang menangis. "Gadis baik-baik saja kok. Hanya lagi pengen sendiri aja."
Pelukan terurai, dan perlu beberapa detik untuk Farah berhenti dari tangisnya. "Bunda sempat takut tadi."
"Maaf Bunda. Gadis udah dewasa sekarang, tak akan mengulangi hal yang bikin Bunda sedih kayak dulu."
"Iya. Bunda percaya, Gadis-nya bunda udah dewasa, bahkan sebentar lagi akan menikah."
Gadis berubah murung, "nggak jadi aja deh Bund. Batalin. Gadis... terlalu malu dan kesal buat ketemu dia."
"Satria?"
Gadis mengangguk. Lalu masuk kembali ke dalam kamarnya yang gelap.
"Bunda nyalain ya lampunya?"
"Biarin aja kayak gini Bunda. Gadis malu lihat diri Gadis sendiri."
Farah yang masih berdiri di ambang pintu memutuskan untuk masuk ke dalam bilik putrinya. Tak terlalu gelap jika pintu kamar itu tetap dibiarkan terbuka.
Farah duduk di samping sang putri, membelai rambutnya yang lurus panjang, "Satria, nggak bermaksud bohong sama kamu. Gadis tentu tahu kan?"
"Gadis tau Bunda. Tapi, Gadis jadi ngerasa bahwa dia terlalu baik buat Gadis. Gadis nggak cocok buat dia. Dia bisa dapatin yang lebih dari Gadis."
"Tapi, Gadis belum lihat kan? Betapa putus asanya tadi dia saat minta maaf di depan kamar kamu? Bunda yakin, Satria nggak akan mau lepasin kamu dengan mudah. Anak itu istimewa sekali. Itulah kenapa sejak awal, Bunda tak cemas saat Gadis dekat sama dia. Dia anak baik. Menantu idaman Bunda."
Gadis terkekeh. "Buktinya dia pulang."
"Kata siapa? Dia ke masjid sama ayah."
"Ke masjid?"
"Sejak maghrib tadi. Motornya masih di sini. Pasti dia bakal balik lagi."
"Gadis nggak mau ketemu dia, Bund." Ujar Gadis cepat.
"Iya Bunda tahu. Gadis boleh marah sama Satria. Tapi, biarkan juga Satria-nya minta maaf, dengan caranya. Adil kan?"
Gadis menghambur memeluk Farah, "Dia terlalu sempurna. Gadis takut, dia bakal kecewa sama Gadis nantinya. Putri Bunda ini bodoh dan nggak bisa apa-apa. Cuma bisa ngrepotin orang saja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Es Balok Unjuk Rasa ✔ TERBIT
RomanceSpinoff Mayang Senja. Satria Rangga Prawira, pemuda bersifat dingin dan datar, tapi ganteng. Dia menjabat sebagai Ketua BEM di kampusnya. Diidolakan banyak mahasiswi dari maba hingga mahasiswi tingkat akhir. Tapi harus pontang-panting mengejar satu...