Amar tak heran jika pasien yang harusnya masih berbaring__ mengingat sobekan pada perutnya cukup dalam__ itu memilih kabur. Mana mungkin dia bisa berdiam diri menerima pelayanan rumah sakit yang akan memulihkan raganya jika nyawanya saja tak tau sekarang ada di mana. Satria menghilang dari rawat inapnya beserta jaket dan kunci mobil pria itu, "gue bingung harus laporin ke suster jaga atau ke kantor polisi saja?" Ucapnya asal. Dia tak mengapa mobilnya dibawa lari, justru keadaan pencuri itu yang dia khawatirkan.
Membuang nafasnya kasar, insinyur pertanian itu akan melapor pada suster jaga lalu dia akan pulang. Untuk apa dia tetap di sana jika yang harus dia tunggui ternyata memilih kabur. Lalu pada detik berikutnya dia menepuk dahinya sendiri karena teringat keluarga pemuda yang membawa lari mobilnya itu, "keluarganya harus tahu kan ya?"
Dia bergegas keluar dan mengubah niat, kata 'pulang' dia ganti dengan 'pergi ke rumah Satria'.
"Astagfirullah!" serunya kaget.
"S-sorry," Dena tiba-tiba muncul di depan pintu yang baru saja dia buka.
Mengelus dadanya yang entah berdebar kaget atau lantaran ketemu wanita yang dia damba. "Mbak di sini?" tanya Amar.
"Mau lihat Satria."
"Dia nggak ada. Barusan kabur!"
"Kabur??!"
"Padahal perutnya sobek cukup dalam. Tapi--- loh mbak jangan nangis.." Amar dengan salah tingkahnya kebingungan saat Dena yang mulai menangis.
"Kenapa nggak kamu tahan?!" yah, galaknya keluar.
"Waktu dia kabur aku lagi di masjid, gimana mau nahan?"
Dena diam, harusnya dia berterima kasih ada pria di depannya ini bukannya malah menyalahkan. "Sorry," wanita itu berbalik pergi. Sedikit menyesali kenapa dia terlambat mengangkat telfon dari Albert yang memberitahu soal rumah sakit di mana adik bungsunya di rawat.
Tapi baru beberapa langkah Dena berhenti dan berbalik badan, "makasih atas bantuannya."
Amar mengangguk lalu membiarkan wanita itu pergi begitu saja dengan tangis kesedihannya. Meski rasa ingin mengajukan diri menjadi bahu untuk sandaran, namun akalnya masih sepenuhnya sadar bahwa dia pun tak bisa membantu apa-apa untuk menghapus tangis itu seketika.
Mereka hanya bisa menunggu sambil terus melangitkan doa. Semoga semuanya baik-baik saja.
***
"Lo nyetir lelet amat sih, Bram?" tanya Dio yang tak sabar. "Sini lah gue aja yang nyetir!"Ibram berdecak kesal di balik kemudinya, "kalo lo yang nyetir, kita berempat bakal berakhir di rumah sakit atau nggak kuburan. Lo diem aja di tempat lo!"
Bagaimana Dio bisa tenang saat dia mendengar Satria yang kabur dari rumah sakit? Adik bungsunya itu pasti mau nyari istrinya. "Kita harus nyampe lebih dulu dari pada adik gue!"
"Semoga." iya, lupa cuma satu kata itu yang bisa Ibram katakan. Mengingat mereka harus mencari jalan alternatif agar tak terjebak macet. Semenjak orang suruhan Albert menginformasikan posisi Gadis berada, jalanan sungguh tak bersahabat untuk mobil mereka melaju lebih cepat.
Dari informasi yang Satria kirimkan pada Albert yang terus memantau mereka dari jauh, satu nomor telepon berhasil mereka lacak, setelah berjam-jam mencari. Berharap prediksi mereka benar.
Kini ada dua mobil yang melaju menuju satu tempat yang sama, mobil yang Ibram kendarai dan mobil yang Satria kendarai. Tinggal menunggu waktu yang bisa menjawab, siapa yang akan sampai duluan.
***
Wanita yang membuat semua orang cemas, terlihat tertidur pulas di sebuah ruangan yang dihiasi ratusan foto dirinya yang diambil secara candid, tertempel di dinding yang mengitari ranjang king size tempatnya terbaring. Matanya tertutup rapat, dan sedikit pun tak terusik meski jemarinya di genggam erat oleh seseorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Es Balok Unjuk Rasa ✔ TERBIT
Storie d'amoreSpinoff Mayang Senja. Satria Rangga Prawira, pemuda bersifat dingin dan datar, tapi ganteng. Dia menjabat sebagai Ketua BEM di kampusnya. Diidolakan banyak mahasiswi dari maba hingga mahasiswi tingkat akhir. Tapi harus pontang-panting mengejar satu...