Nyonya Satria

4.3K 594 135
                                    

Bolehkah Satria merasa terharu? Pagi ini pertama kalinya dia sarapan dengan menu masakan seorang ibu dan dilayani oleh seorang istri. Yah, meski istrinya masih merasa malu akibat tak sengaja membuat Satria jatuh dari tempat tidur semalam. Seperti apa yang Gadis takutkan, sesuatu akan terjadi pada Satria akibat ulahnya yang tanpa dia sadari saat tertidur. Awalnya wanita itu tak tahu kejadian memalukan itu, sebelum suaminya memintanya mengoleskan krim pereda nyeri pada punggungnya.

"Kenapa bisa nyeri punggung sih? Kamu jarang olah raga atau gimana?" Tanya Gadis tadi sebelum mereka sarapan.

"Aku jatuh semalam."

"Naik apa emang? Kenapa bisa jatuh?" Pertanyaan bernada gerutuan sambil mengolesi punggung Satria yang memang terlihat agak membiru.

"Aku tidur semalam. Hanya saja tiba-tiba terlempar ke lantai," jawab Satria lalu tiba-tiba mengaduh karena Gadis menekan titik nyerinya.

"Apa itu ulahku?" Gerutuan berubah rengekan. Lalu saat Satria berbalik, Gadis sudah menutup wajahnya dengan kedua tangannya. " Aku pernah melakukan itu pada Dian, Andrea dan Andara. Sekarang kamu. Maaf."

Satria tersenyum lalu menurunkan tangan istrinya, "tidak apa-apa, dan aku tetap cinta sama kamu."

Gadis memandang Satria yang tengah tersenyum tampan, makin merasa bersalah lah dia. "Gimana kalo kita tidurnya terpisah aja?"

"Kok gitu?"

"Biar kamu nggak jatuh lagi."

"Jatuh tiap malam juga aku rela."

"Nggak lucu ih! Ya udah, ntar malam ikat aku aja!"

"Oke baiklah." Gadis terdiam mendengar jawaban suaminya yang dia pikir Satria tega padanya. "Nanti malam kamu akan aku ikat pake tangan aku kayak gini," Satria memeluk Gadis yang mematung dan mencerna kata-kata teman berbagi kamarnya.

"Emang tangan bisa ngiket?"

"Bisa dong. Dengan dekapan seperti ini."

"Terus gulingnya?" Hah, dasar Gadis! Dikasih guling juga tetap saja suami terdampar dramatis di lantai. Si guling entah pergi kemana.

"Nggak perlu guling."

"Terus kata Kak Dio?"

"Dia bohong. Lagian andai itu benar juga nggak papa kan cium kamu saat mengigau. Udah bersertifikasi halal ini." Satria terkekeh lalu melepas dekapannya. "Dis, aku lapar. Kamu nggak ajakin aku sarapan?"

Gadis yang masih bingung dalam mencerna debaran jantungnya yang tiba-tiba saja aneh, cepat dan berasa mau lompat, teringat pesan sang Bunda setengah jam sebelumnya, "ajak Satria turun untuk sarapan kalo kalian sudah selesai mandi."

Gadis tertawa kecil saat mendengar suara dari perut Satria yang membuktikan kata-katanya tadi. "Bunda udah nyuruh sarapan dari tadi." Gadis meringis lucu, "ayo kita makan. Tapi--"

"Tapi?"

"Bukan Gadis yang masak, tapi Bunda. Soalnya Gadis belum begitu bisa masak, kan baru seminggu belajar masaknya."

Lagi-lagi Satria tersenyum lalu mengacak rambut Gadis yang masih tergerai, "tidak apa-apa. Nanti aku ajarin masak kalo kita sudah pindah rumah."

"Satria bisa masak?"

Ketua BEM itu mengangguk, dan Gadis mulai mengeluhkan dirinya yang tidak bisa apa-apa.

"Hey, muka cantiknya berkurang kalo cemberut gitu. Dengerin nih," Satria membawa istrinya mendekat lalu mendekapnya lagi. "Aku menikahimu bukan buat jadi koki, jadi tidak apa-apa kalo kamu belum bisa masak. Lagian jadi istri itu waktunya jangka panjang, sepanjang sisa umur kita. Jadi, kamu masih bisa belajar. Untuk sekarang, tugasmu jadi temanku saja. Kalo aku capek, peluk biar capeknya ilang. Kalo aku sedih, cium biar sedihnya ilang. Itu saja cukup."

Es Balok Unjuk Rasa ✔ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang