Pakdhe Datang

3.2K 594 231
                                    

Setelah beberapa menit mengendarai mobilnya dengan pikiran tak tenang, akhirnya Satria sampai juga di kediaman mertuanya. Tentunya sebelum itu dia telah memastikan dengan menelfon Mayang dan ketiga sahabat istrinya untuk menanyakan perihal apakah istrinya sedang bersama mereka atau tidak.

Pemuda itu turun dari mobil dengan langkah tergesa, namun saat kakinya baru menginjak lantai teras seseorang menghadangnya. Seorang pria paruh baya yang tidak dia kenal. Dia melarang Satria masuk.

"Maaf pak, tapi saya menantu pemilik rumah ini," katanya mengiba. Sungguh dia ingin segera melihat gadis-nya.

"Tak akan semudah itu kamu saya biarkan masuk, setelah apa yang kamu lakukan pada keponakan cantik saya. " ucap pria itu tegas.

Tunggu dulu, Satria berpikir sejenak.  Pria di depannya itu berperawakan tinggi gagah, berkulit gelap seperti sering terpapar sinar matahari, rambutnya cepak dan.. wajahnya sedikit mirip Farel, mertuanya. Apalagi pria itu tadi bilang soal 'keponakannya'.

Jadi Satria tebak, "anda Pakdhe Idris?"

"Tebakanmu tepat sekali anak muda."

Satria hendak melangkah untuk mendekat dan berniat menyalami tangan pria yang berprofesi sebagai tentara Indonesia itu, tapi pria itu mengisyaratkan agar Satria tak bergerak dari tempatnya semula. Pikiran Satria mulai panik. Iya, pasti akan ada sesuatu yang pakdhe istrinya itu lakukan. Menghukumnya mungkin.

"Kenapa kamu buat Gadis pulang dengan menangis dan menyedihkan? Bahkan untuk membayar ongkos taksi saja dia tidak punya? Untung kami sudah tiba dari Malang. Niat kami memberi kalian kejutan, justru kami yang terkejut karena menemukan putri kami menangis. Itu pasti ulahmu kan?"

Satria pikir dia ada dalam sebuah masalah sekarang. Mertuanya pulang saat terjadi masalah dengan istrinya.

"Apa kamu tak menafkahinya?"

"Bukan begitu pakdhe. Dompet dan tas Gadis ada sama saya," dia menunjukkan tas warna hitam milik istrinya yang dia tenteng dengan salah satu tangannya. "kalo soal nafkah, insyaa allah lebih dari cukup pakdhe," benar apa yang Satria katakan. Di hari pertamanya resmi menjadi seorang suami, dia sudah menyerahkan sebuah ATM yang isinya sepuluh digit angka untuk istrinya bahkan Satria sengaja mengubah pinnya sesuai tanggal pernikahan mereka. Agar istrinya tak lupa dan bisa menggunakan saat membutuhkan.

"Kenapa dia pulang matanya sembab gitu?" Meski Idris pernah melihat Gadis lebih buruk dari itu, tapi rasanya sudah mengiris hati pria itu.

"Maafkan saya pakdhe, saya yang lalai menjaganya." Satria tertunduk dan berniat untuk melakukan apapun agar bisa cepat menemui istrinya.

"Lepas sepatu, jaket dan kaos kamu. Push up seratus kali! Sekarang!"

Satria seketika itu juga menuruti kakak dari ayah mertuanya itu. Di teras itu juga Satria melakukan titah pakdhenya untuk push up seratus kali.

"Badan kamu kurus ya? Nggak pernah olah raga ya pasti?" Tebakan Idris yang tak sepenuhnya benar. Satria termasuk pria yang rajin berolahraga, buktinya udah setengah lebih hitungan Satria masih semangat melakukannya. Tanpa terlihat enggan atau keberatan. Demi segera bertemu dengan Gadis-nya.

"Kamu masih mahasiswa sudah berani menikahi Gadis, nafkahin dia pake apa?"

Ngos-ngosan dan lumayan haus, tapi Satria tetap menjawab apa yang Idris tanyakan padanya. Dia sudah selesai menghitung sampai seratus, lalu dengan tenang dan ramah dia menjawab, "Saya mengelola sebuah kafe dan dua distro pakde, insyaa allah lebih dari cukup untuk kami."

Idris sekarang ikut duduk di samping pemuda yang bertelanjang dada dan berkeringat itu, mulai ramah tapi masih melarangnya untuk masuk. "Sebegitu ingin kamu lihat Gadis?"

Es Balok Unjuk Rasa ✔ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang