Cukup Sekali

3.3K 515 108
                                    

Pasien yang kabur sudah kembali ke kamar rawat inapnya. Namun akibat ulahnya, dia harus mendapat jeweran dari Rasti dan ceramah panjang lebar Farah, belum lagi Dena. Ketiga wanita kesayangan Satria itu jika sudah marah akan lebih seram dari pada dokter jaga.

"Udah dong marahnya, kasian Satria. Dia nekat begitu karena istrinya hilang," Gadis mencoba membantu agar kabawelan ketiga wanita yang sedang bergantian mengomel Satria itu berhenti. "Jika kalian tak juga berhenti memarahinya, Gadis yang akan bawa dia kabur!"

Satria tertawa lalu mengajak istrinya yang manis itu untuk melakukan tos, "makasih sayang," ucap Satria.

Wanita yang kehilangan sebagian ingatannya itu lalu memeluk sang ayah, "cuma ayah yang mengerti Satria. Ayahku, tak marah. Bilang sama mereka ayah, Satria hanya khawatir pada anak ayah yang nggak pintar ini, yang suka nyusahin dan bikin sedih kalian."

Suasana berubah hening, dan semua mata tertuju pada wanita yang sedang memeluk Farel itu. Mereka mendadak iba.

"Kata siapa putri ayah ini nggak pintar? Ayah udah tahu loh, kamu nyembunyiin apa dari kami. Kamu hebat, sayang." kata Farel.

Gadis seketika itu menoleh pada suaminya yang sedang menatapnya dari atas brankarnya, "kamu kasih tahu ayah?"

Satria memperlihatkannya deretan giginya yang rapi lalu mengangguk.

"Harusnya aku biarin aja mereka ngomelin kamu! Kamu emang ngeselin," Gadis melipat tangan di atas perutnya. "Jangan-jangan yang lain juga udah tahu?"

"Mungkin," jawab Satria singkat sambil mengerutkan hidungnya.

"Ember banget ya ternyata kamu, harusnya pas di kafe waktu itu, kamu nggak usah lihat."

"Udah terlanjur lihat, gimana dong sayangku?" jawab Satria enteng.

"Aah, kamu bikin aku malu."

"Sini peluk!" titah Satria sambil merentangkan tangannya, yang langsung diturutin istrinya.

"Duh, putri bunda. Baru saja ngomongin malu, tapi lihat! Pelukan sama cowok depan kami tapi nggak malu." protes Farah.

Gadis reflek langsung menarik tubuhnya, "eh iya! Satria ih, bikin Gadis malu lagi!"

Tawa dari para orang tua pun pecah, bahkan Wira yang sedari tadi duduk diam di sofa pun ikut tertawa. Mereka gemas pada tingkah polos putri Farel dan Farah itu.

Wira bangkit, "kita tinggalin mereka saja. Sudah cukup mengomelnya. Biarkan Satria istirahat, kasihan besan kita di rumah hanya ada Dio dan Andara saja. Ayo kita pulang!" Lelaki tua itu menepuk perlahan bahu sang cucu bungsu, "terima kasih karena kamu selamat dan Gadis pun demikian. Opa bangga sama kamu."

"Terima kasih opa."

"Lain kali jika ada sesuatu, beritahu kami juga. Nggak seperti kemarin, kamu ditusuk orang, dan Gadis hilang bisa-bisanya kami tidak tahu. Tahu-tahu kamu sudah di rumah sakit."

"Kami hanya tidak ingin oma dan opa khawatir. Maafin kami, opa."

"Maaf kami selalu ada buat kalian. Kami pulang dulu, istirahat lah." Wira mengusap kepala cucunya sebelum menggandeng istrinya keluar.

"Kami ikut pulang ya, sayang." kata Farah pada Gadis, "kami mau menyapa orang tua Andara dulu. Belum sempat ketemu sejak kemarin mereka datang. Nanti kalo ada yang kalian butuhkan bisa hubungi bunda kapan aja."

"Iya bunda."

Dua pasang orang tua sudah keluar hanya tertinggal Dena, namun tiba-tiba Satria memanggilnya saat hampir sampai ambang pintu.

"Ada yang kamu mau?" tanya Dena pada adik bungsunya.

"Nggak ada kok, Satria cuma mau ngasih tahu kalo tadi bang Amar telfon. Apakah kak Dena mau balikan sama kak Alan?"

Es Balok Unjuk Rasa ✔ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang