Tidak Untuk Sekarang

5K 656 174
                                    

Mata Gadis mengerjap berkali-kali. Memandang Satria yang tersenyum padanya.

"Apa barusan itu gue dilamar Ra?"

"Kan? Nyebelin! Ngerusak moment aja lo Dis! Tanya aja ke adik ipar gue ini, gue mau bikin kopi buat Kak Dio, tuh mobilnya udah di depan." Andara beranjak, lalu memberi nasihat pada Satria agar lebih bersabar lagi, karena Gadis bisa akan lebih menyebalkan. Lalu dia berjalan ke arah dapur, untuk membuat secangkir kopi buat sang suami.

Satria masih pada posisinya, "gimana? Mau ya?"

"Menikah?"

"Iya."

"Sama lo?"

"Iya Gadis.." jawabnya lembut.

Hening beberapa saat. "Apa gue boleh nanya ke bunda dulu?"

Satria terkekeh, "kenapa kalo boleh tau?" Satria rasa itu tak perlu, karena Gadis tak tau janji apa yang Satria sudah ucap pada sang bunda.

"Ini pertama kalinya buat gue."

"Ini juga pertama kalinya buat gue, Dis." Tapi lo beruntung masih punya ibu yang bisa lo tanyain.

"Lo nggak tau sih." Kata gadis.

"Apa?"

Gadis memegang dada kirinya, "ini, di sini. Jantung kan ya?"

"Iya. Kenapa emang?" Satria menahan tawanya, meski hasilnya akan ditolak pun ia tak akan sedih atau pun menyesal. Karena Satria yakin, Gadis merasakan apa ia rasakan. Dia hanya butuh dibantu untuk menyadari itu.

"Mau lepas deh rasanya. Apa ini yang disebut serangan jantung?"

Kan? Benar kata Andara, Satria kudu lebih bersabar. Satria tertawa juga pada akhirnya. "Sudahlah, cukup sekian. Ulangi lagi besok! Gue mandi dulu." Pemuda jangkung itu berdiri lalu menuju tangga, masih dengan sisa tawanya.

Ini tak akan mudah. Tapi tak sulit juga. Yang penting dia sudah tau apa yang Gadis rasakan untuknya.

"Kenapa lo? Tumben ketawa?" Dio yang berpapasan dengannya di dekat tangga. Lalu kakaknya itu memandangnya bergantian antara Gadis dan Satria. Lalu mengernyit. "Gadis?"

"Iya. Gue ditolak deh kayaknya." Satria tertawa lagi. Gadis benar-benar mengubahnya, bahkan ditolak saja dia bisa sebahagia itu.

"Ditolak kenapa malah senang begitu?"

"Gue juga nggak tau Kak." Kata Satria mulai menapaki tangga, "gue mandi dulu. Mau nganter calon nyonya pulang."

Dio ikut tertawa. Dasar es balok. Makin hari makin aneh saja. Lalu dia sedikit berteriak pada adiknya. "Jangan lupa jemput Kak Dena ke bandara!"

Seketika Satria berbalik, menepuk dahinya sambil beristighfar. "Gue lupa!"

"Gadis mulu sih yang lo ingat! Ntar kalo kena marah sama Mak Lampir itu, jangan minta tolong gue." Dio pergi menuju dapur, meninggalkan sang adik yang justru terduduk di anak tangga. Dio tak habis pikir, bagaimana Satria yang biasanya banyak diam, tertutup, perfectionis dan jarang tertawa itu menjadi ceroboh juga. Terserahlah, meski nanti dia juga harus menyaksikan sang kakak mengamuk adiknya itu, yang penting dia ngopi buatan sang istri dulu.

***
"Kenapa gue diajak ke bandara? Katanya tadi mau ngantar pulang?"

"Temenin gue jemput Kak Dena."

"Siapa dia?"

"Kakak tertuaku. Dia tinggal di Singapura, menetap di sana."

"Kenapa minta temenin, emang lo takut sama dia?"

Es Balok Unjuk Rasa ✔ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang