Melukis Senja

4K 636 256
                                    

Rumah Kasih Sayang, adalah tiga kata yang tertulis pada papan warna putih yang berdiri tegak di dekat pagar sebuah rumah sederhana dengan halamannya yang luas. Usai drama yang penuh air mata dari Gadis gara-gara coklat yang sering Satria dapatkan dari para mahasiswi, si ketua BEM  mengajak Gadis kemana coklat itu dia bawa. Di tempat itu kini banyak anak yang sedang berkejaran dengan riang atau sekedar bercengkerama satu sama lain. Ada juga yang masih asyik mengunyah coklat yang Satria bawakan untuk mereka siang tadi.

Senja akan datang beberapa menit lagi, tapi sebagian anak yang tak berayah-ibu itu masih enggan untuk masuk ke dalam bangunan yang biasa disebut panti asuhan itu. Juga sepasang manusia yang sudah kelelahan bermain bersama mereka tadi, masih enggan meninggalkan ayunan besi bercat warna-warni yang saat ini sedang mereka duduki bertiga. Gadis dan Satria sudah sejak tadi duduk berhadapan di dalam ayunan itu, sambil Gadis memangku balita tiga tahunan yang nampak mengantuk karena diayun saat perutnya sudah merasa kenyang.

"Sepertinya Asya mengantuk." Satria melihat bocah kecil itu mulai memejamkan mata.

"Hmm..Biarin dia tidur dulu. Ini tidurnya masih boongan." Sahut Gadis dengan lirih.

Satria terkekeh, "baru tau gue kalo ternyata ada tidur boongan. Terus yang serius itu yang kayak apa Dis?"

"Kalo bulu matanya udah nggak gerak-gerak. Nih coba lihat, masih gerak kan?" Gadis menunjuk bulu mata balita perempuan yang berkulit putih nan gemuk dan berambut kriwil itu. "Jadi ingat sama Kak Dio. Rambutnya sama ya?" Gadis lalu terkekeh.

Satria hanya memberi senyum untuk merespon wanita itu.

"Gue juga serius Dis."

"Soal apa?"

"Buat halalin lo."

"Ih, Satria! Enteng banget ngomongnya. Nanti Asya dengar gimana? Gadis malu tau!" Kata Gadis membuang muka, menyembunyikan pipinya yang memerah.

Demi apa? Satria tertawa lebar. Andai Dio melihatnya saat ini, pasti adik bungsunya itu akan dia anggap aneh untuk kesekian kalinya dan Dio juga akan meledeknya habis-habisan.

"Asya masih kecil. Mana ngerti begituan sih?" Satria tersenyum geli, gadis di depannya itu benar-benar sedang malu.

"Tetap saja. Dia punya dua telinga."

"Mana ada telinga satu. Semua pasti Allah kasih sepasang. Kayak gue sama lo, kita sepasang."

"Kan? Lagi! Lo kenapa sih?"

"Pengen lamar lo sekali lagi. Di sini. Asya saksinya." Dengan dagu Satria menunjuk balita yang kini ia yakini sudah terlelap itu.

Andai saat ini Gadis tak sedang memangku bocah manis itu, pasti dia sudah kabur. Barangkali itu juga yang menjadi alasan Satria untuk unjuk rasa sekali lagi. Gadis tak akan bisa kabur karena ada Asya di pangkuannya. Apalagi posisi mereka yang berada di ayunan yang bergerak perlahan, maka akan sulit untuk tiba-tiba berlari.

"Terus Gadis harus jawab apa?" Gadis cemberut lucu.

Mengangkat kedua bahunya Satria lalu berkata bahwa semua terserah pada Gadis. Dia hanya berusaha, menyatakan apa yang hatinya inginkan. Soal jawabannya apa, itu adalah kuasa Gadis sepenuhnya.

"Andai. Misal. Mmmm... jikalau gue nolak lo lagi. Lo bakal sedih?" Tanya Gadis dengan hati-hati.

"Iya pasti. Tapi gue nggak mau jika lo jauh lebih sedih karena ngerasa terpaksa iyain apa mau gue." Nyatanya apa yang Satria inginkan saat ini adalah Gadis menerimanya. Tapi andai ditolak lagi, dia akan mencobanya lain kali. Dia yakin suatu saat Gadis akan menerimanya. "Apa yang sedang ada di pikiran lo saat ini, coba kasih tau ke gue. Biar nanti gue simpulin sendiri andai lo takut melukai perasaan gue."

Es Balok Unjuk Rasa ✔ TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang