1 | Di lupa saja

5.9K 716 91
                                    


b a g i a n | 1 | di lupa saja

------------

.

.

.

.

.

.

.

Kisah seram yang digenggam Dikta dan Dovan kini terbawa sampai masa di mana mereka terpisah untuk waktu yang lama. Dikta dan Dovan tidak satu rumah, mereka tidak pulang ke jalan yang sama. Sudah hampir tujuh tahun berlalu, sampai-sampai Dikta lupa kalau ia adalah anak kedua dari dua bersaudara.

Sudah sekolah menengah atas, Lugas Dikta Adiguna menjalaninya sendirian tanpa orang tua dan kakaknya. Dia tumbuh menjadi remaja lelaki pada umumnya yang nakal dan suka menjahili Haelmi, neneknya Dikta yang sudah tua dan renta.

Pada dasarnya anak itu ceria dan penuh tawa, Haelmi tidak tau dari mana asalnya luka membiru di tangan dan sudut bibir cucunya. Percuma kalau bertanya, jawabannya nanti bisa menyudutkan wanita tersebut, kena pukul centong nasi katanya.

Padahal kan Haelmi tidak turun tangan kalau Dikta memang belum keterlaluan. Saking nakalnya Dikta, Haelmi pernah di panggil wali kelas karena cucunya itu ketahuan manjat genteng buat kabur dari sekolah. Entah ada masalah apa antara Dikta dan sekolah, mereka bukan perpaduan yang bagus ketika disandingkan.

"Kemarin Haelmi nggak liat Dikta pulang lewat pintu depan, kok tiba-tiba udah di sini?"

Dikta yang tengah memakan nasi goreng buatannya itu mendongak, "manjat. Udah ada bakat soalnya, Hael. Kayaknya Papa keturunan simpanse."

"Kamu ngatain Haelmi simpanse?!"

"Haelmi yang bilang sendiri loh!" Dikta menjauhkan badannya dari cubitan Haelmi. "Hari ini kok tumben masak nasi goreng? Biasanya cuma goreng telur."

"Bilang apa kalau gitu?" Haelmi menjawab.

"Makasih, Nyonya Haela Mariana."

Haelmi tersenyum, lalu mencium kening Dikta. "Pinter, udah gede. Abis makan dicuci piringnya."

"Kok pakek cium segala?!" Dikta memprotes. "Malu!"

"Halah, biasanya mandi di halaman pas Haelmi siramin taneman pakek selang. Pakek bilang malu segala."

"Itukan pas masih SD, sekarang SMA!"

Oh iya, Haelmi baru sadar. Dikta yang ingusan dan giginya keropos itu sudah bukan anak sekolah dasar lagi. Jari-jari kecilnya sudah kokoh, bahu dan punggungnya sudah kuat menopang berat beban hidupnya. Haelmi tidak sadar ... cepat sekali.

"Berisik ah pagi-pagi juga," suara berat seorang lelaki memecah suasana diantara mereka. Itu Loka, anak bungsu Haelmi yang baru lulus S2 dan masih pengangguran. Lelaki seperempat abad itu mengambil piring dan sarapannya.

"Baru bangun? Pantesan S2 pengangguran. Rejeki lo abis di patok ayam," ledek Dikta. "Bangun tuh subuh, sekali-kali bantuin Haelmi bersih-bersih, masak, atau apa kek, males amat jadi manusia."

"Bacot lo," Loka menjawab tak acuh. Hubungan antara keponakan dan om itu tidak teramat baik memang. "Lo tuh sekali-kali minggat aja. Bisanya ngabisin beras di rumah, mana makannya sekarung. Emang dasar bagong!"

Rumpang | haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang