b a g i a n | 28 | Negeri pelarut mimpi
———————————————
.
.
.
.
.
.
Sudah berjam-jam semenjak Dikta pergi menerobos hujan. Di rumah itu Leo menatap nanar foto Jovan yang dipajang di dinding. Di sebelahnya berjejer foto-foto Dikta kecil bersama papanya, potret mereka menguarkan hawa yang tak biasa.Juni memutuskan untuk pulang, mungkin hadirnya di sana yang menjadi penyebab Dikta tak kunjung datang. Aroma tanah yang bercampur dengan titik-titik air cukup menenangkan batin mereka berdua. Mereka harap Dikta merasakan hal yang sama.
"Hati-hati."
"Kamu juga."
Leo menekuk lututnya kembali. Rumah ini terasa berbeda dari sebelum-sebelumnya. Fakta mengenai kepindahan Dikta ke rumah Juniar dan Kintana, Mas Loka yang sedang sakit dan butuh biaya, Haelmi yang juga tak kunjung pulih kondisinya, Leo tidak sanggup membayangkan sekacau apa anak itu sekarang.
Dulu dirinya sering menginap, sering banget sampai dikira pindah rumah. Apalagi Nadesh yang bahkan beli sabun sama sikat gigi buat ditaruh di kamar mandi Dikta biar anak itu nggak perlu ribet bawa dari rumah. Jadi anggota keluarga Dikta bukan hanya tiga, melainkan lima, termasuk Leo dan Nadesha.
Tapi sekarang semuanya seolah beku. Di meja makan yang kini berdebu tidak ada candaan yang berlalu. Tidak ada tabokan dari Mas Loka ketika Dikta berulah, tidak ada pelototan dari Haelmi ketika Nadesh menyisakan makanan dan terus berkilah.
"Leo? Dikta mana?"
Mas Loka datang dengan rambut basah dan wajah yang pucat. Ada sekantung kresek kecil obat-obatan yang baru dibelinya dari apotek. Seraya melepas parka birunya, lelaki tersebut duduk dan beristirahat sejenak karena dirasa kakinya sungguh lemas.
"Tadi dia pergi—"
"PUNTEN GOFOOD."
Loka menoleh, "nah itu, lo dari mana ajaaa! Ujan-ujan? Besok seragamnya masih dipake bujang!"
Di dalam sana ada yang berusaha Leo utarakan. Tentang mengapa Dikta datang ditengah hujan. Tentang alasan kenapa anak itu memilih pergi sementara Leo berada di rumahnya sendiri. Namun raut Dikta yang ceria meyakinkan Loka bahwa anak itu tak lain dan tak bukan hanya sekadar ingin bermain-main bersama hujan.
"Ngomelnya nanti dulu. Masa mau melewatkan kenikmatan duniawi sih?" Dikta menaruh kresek hitam berisi tiga bungkus nasi yang dibelinya di perjalanan pulang. "Yo, mau sampai kapan berdiri di sana hah? Yakin enggak mau? Ada rendang bosku!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumpang | haechan
General FictionLugas Dikta Adiguna selalu ingin menyelesaikan paragraf rumpang dalam satu kisah yang ditulisnya bertahun-tahun lalu. Paragraf tersebut berisi deskripsi pasal keluarga, Mama, Papa, Kakak, dan segenap tokoh lain yang ia idolakan. Dahulu sekali ketik...