b a g i a n | 29 | Letak Adil untuk Kami
---------------
.
.
.
.
.
.
Ini kali pertama Dikta merasa damai.
Hari berganti pagi dan ternyata semuanya bukanlah mimpi. Peluk Mama begitu hangat, matanya yang sedikit sayu membuat seluruh cemas dan gejolak dalam benak Dikta berangsur-angsur runtuh. Seperti menemukan rumah lama yang hilang, Dikta enggan melepas Mama sampai mereka pulang.
Dikta menyadari bahwa ia hidup dengan segala kerumitan yang belum terjawab seluruhnya. Tentang mengapa Papa harus mendapat segala kesulitan hanya karena profesinya, mengapa Dikta dan Dovan tidak diberi ruang untuk saling bertemu dan melayangkan kasih sayang antar saudara satu sama lain. Mengapa harus dirinya yang dibombardir dengan luka batin yang sulit untuk dijelaskan, entahlah, Dikta masih mencari-cari jawaban yang tepat.
Dikta masih tercenung.
Dia lihat Mama yang sedari tadi mondar-mandir. Agak berbeda dari biasanya, hari ini Mama pakai daster. Kata Mama, ini rumah dia. Rumah yang keberadaannya tidak diketahui Bima. Dikta cukup bersyukur sama otak Mama yang ternyata berguna. Selama ini dia kumpulkan niat dan rencana tersembunyi biar dendamnya terbalas.
"Ini genre hidup kita apa sih Ma," mata Dikta masih mengikuti laju kaki Mamanya yang terkesan panik dan terburu-buru.
Mama tetap fokus dengan agendanya. Padahal ya, Dikta sudah tawarkan diri buat memasak. Dia sudah biasa cemplung-cemplungin bahan yang ada karena Mas Loka sering mangkir dari tugas negara (alasannya beragam, bisa ngantuk, bisa mager, yang terakhir kali adalah badmood). Tetapi Mama menolak, katanya dia mau jadi ibu yant baik.
"Genrenya action," Mama jawab sekenanya. "Setelah ini Mama akan ngurus banyak hal, Dikta. Mama mau gugat cerai dia setelah tuntutan atas penganiayaan masuk ke pengadilan."
"Kenapa nggak dari dulu Ma? Kenapa baru sekarang?"
"Dulu Mama belum berani. Mama kira dia bakal sudahi kebiasaan buruknya yang suka melukai orang lain," Mama selesai memasak. Dia matikan kompor dan hidangkan nasi goreng di meja makan. "Maem dulu, nanti kita lanjut ngobrol."
"Ma."
"Makan dulu Nak."
"Hehe, oke."
Dikta nurut, dia makan dengan lahap. Walau rasanya asin, tapi itu buatan Mama yang dikhususkan untuk dia. Dikta anggukkan kepala waktu Mama nanya apa masakannya enak, walau sebenarnya dia pengin banget muntah di kamar mandi, Mama emang beneran bar-bar kalau ngasih garam!
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumpang | haechan
General FictionLugas Dikta Adiguna selalu ingin menyelesaikan paragraf rumpang dalam satu kisah yang ditulisnya bertahun-tahun lalu. Paragraf tersebut berisi deskripsi pasal keluarga, Mama, Papa, Kakak, dan segenap tokoh lain yang ia idolakan. Dahulu sekali ketik...