b a g i a n | 14 | Kalau sudah pergi, jangan kembali
———————————————
.
.
.
.
.
.
.
Katanya hidup itu penuh sama konspirasi.
Dikta percaya, seumur-umur dia hidup, dia nggak pernah menemukan sisi halus dan lembutnya Wiraloka. Ini jarang banget, kayak jumlah murid pinter tanpa nyontek di sekolahnya. Bukannya Dikta nggak suka, tapi memandang lengan Loka yang lagi ambilin dia sepiring nasi dan berbagai lauk kesukaan dia, Dikta jadi keinget Papa. Dulu semasa kecil Papa perhatian banget walau Dikta ini anak laki-laki, dia selalu ditanyain 'gimana sekolahnya?' 'Hari ini mau makan apa?' Kayak gitu-gitu deh, jadi walaupun Mama dan Dovan enggak ada, Dikta nggak merasa sepi.
"Gimana sekolahnya?"
Tuhkan.
Dikta baru saja ngebatin, dan Mas Loka betulan nanyain hal yang sama seperti yang biasa Papa tanyakan kepada dia. Anak itu diam agak lama, tatap-tatapan sama Loka, dia enggak berani jawab.
"Hari ini yang masak gue, jangan komen nggak enak, soalnya udah dicobain sama chef Haela Mariana."
"Aku lagi ulang taun ya?"
"Hah?"
"Kok dikasih menu hajatan begini?"
"Ya menurut lo aja, gue harus kasih menu apa? Nasi kucing?"
"Ck, baru aja kalem, udah nyolot aja."
"Ya elunya bikin emosi."
Dikta akhirnya memakan semua lauk dan nasi yang sudah dikasih Loka ke piringnya. Haelmi diam aja, dia nggak merasa punya kata untuk disampaikan, sementara Loka sesekali liatin keponakannya itu lamat-lamat. Dia mau bilang ini, tapi susah banget. Dia udah latihan seharian, udah ngumpulin niat juga, tapi bibirnya masih enggak mau bicara.
Dikta jangan pergi. Ayo cepetan bilang, Loka!
Mama sempat kirim chat ke Dikta beberapa waktu lalu, memastikan besok Dikta pulangnya jam berapa. Mama mau jemput ke sekolah katanya, Dikta juga dikasih tau lagi buat enggak bawa baju banyak-banyak. Tapi sampai sekarang chat Mama masih dianggurin, dia belum ada jawaban.
Baru setelah acara makan malam itu selesai, Dikta enggan beranjak dari kursinya. Ada yang mau disampaikan kepada Haelmi sama Loka, tapi ini beneran susah banget, sampai-sampai Dikta terbata beberapa kali. Dia takut setengah mati.
"H-hael."
"Iya?"
"Aku mau ngomong."
"Kenapa?"
"Mama ... ajak aku pulang ke rumah dia, dia udah mau nerima aku."
Suara gelas pecah membuat Dikta kaget bukan main, ah dia udah bilang berapa kali kalau dia kagetan? Loka dengan sengaja memecahkan benda itu tepat di bawah kakinya. Lelaki itu menatap Dikta lama sekali.
"Mas?"
"Kamu beneran mau pergi?" Haelmi menyela karena Loka tidak memiliki tanda-tanda mau menjawab pernyataan Dikta barusan. Wanita itu mendekat, mengelus lengan cucunya yang dirasa semakin kuat. Dia dulu sekecil anak bebek, sekarang sudah dewasa dan pengin menggapai apa yang tidak dia dapat sedari dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumpang | haechan
General FictionLugas Dikta Adiguna selalu ingin menyelesaikan paragraf rumpang dalam satu kisah yang ditulisnya bertahun-tahun lalu. Paragraf tersebut berisi deskripsi pasal keluarga, Mama, Papa, Kakak, dan segenap tokoh lain yang ia idolakan. Dahulu sekali ketik...