b a g i a n | 21 | Detik pelikmu
---------------
.
.
.
.
.
.
.
Daripada bermain-main dengan emosi Juni yang naik turun belakangan, Dikta selalu memilih jalan lain agar dirinya tidak bertemu dengan Juni untuk beberapa saat. Di rumah tidak ada yang spesial, paling juga omelan-omelan Mama karena Dikta sering bangun agak terlambat, atau pekikan keras dari ruang kerja Papa yang hanya bisa didengar olehnya. Juga beberapa lebam keunguan yang bisa diibaratkan seperti cendera mata yang wajib dibawanya ketika keluar dari ruang kerja Papa.Dengar-dengar Mas Loka sudah pulang dari rumah sakit. Dikta mengirim beratus pesan guna menyampaikan rasa maafnya kepada lelaki tersebut karena tidak bisa menjenguk dan berkunjung. Dia beralasan sibuk sekolah, nyatanya tidak, Dikta gengsi, dia malu, dia merasa belum siap karena ekspektasinya yang tinggi ternyata sepahit serapahnya Mas Loka yang dia terima tiap hari.
Jisel cukup membantu, belakangan ini Leo dan Nadesh benar-benar tidak meninggalkan Dikta yang sedang diombang-ambingkan oleh kebingungan. Walau terkadang Nadesh melakukan hal-hal aneh yang cuma bisa diproses oleh otak orang ber IQ superior, setidaknya itu cukup mengusir gundah yang terus bertahan dalam benak Dikta.
Tentang Jisel, beberapa kali gadis itu menemui Dikta buat memberi kabar. Bagaimana keadaan Loka dan Haelmi, seperti apa dua orang itu tanpa hadirnya Dikta, yah semacam itulah. Dalam titik ini Dikta merasa kalau hidup itu rasanya hambar, kalaupun ada progress, tidak ada manis yang tercapai, beberapa angannya jadi pahit, beberapa harapnya sudah tidak bisa ditolong, sudah terkubur bersama bayangan Mama yang hangat namun ternyata dingin bagaikan samudera.
"Apa kabar, Gas?"
Ini yang Dikta sukai ketika bertemu orang yang cukup lama presensinya tidak hadir. Ditanyai kabar. Dia dan Aditama terakhir kali berjumpa waktu pemakaman kakek, di sana Aditama menggendong seorang bayi lelaki bersama istrinya yang Dikta ketahui masih punya hubungan saudara sama dia dan Mas Loka.
"Baik Bang," Dikta membalas sekilas. Dia lagi di tempat makan, ditraktir sama Aditama. Katanya sih syukuran ulang tahun pernikahannya yang ke tujuh. Tapi Dikta nggak percaya, mana mungkin. Kalaupun iya harusnya dirayain sama anak dan istrinya, bukan sama dia.
"Lugas kelas berapa sih sekarang?" Lelaki itu menyibakkan poni yang dibelah koma. Ngomong-ngomong style Aditama yang begini pastinya karya sang istri, setelan, rambut klimis, sepatu pantofel. Lelaki itu padahal lebih suka rambut poni depan sama hoodie dan celana pendek. Casual gitu, eh malah dipaksa begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumpang | haechan
General FictionLugas Dikta Adiguna selalu ingin menyelesaikan paragraf rumpang dalam satu kisah yang ditulisnya bertahun-tahun lalu. Paragraf tersebut berisi deskripsi pasal keluarga, Mama, Papa, Kakak, dan segenap tokoh lain yang ia idolakan. Dahulu sekali ketik...