8 | Juni, kamu kyut!

2.1K 425 48
                                    

b a g i a n | 8 |  Juni, kamu kyut!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


b a g i a n | 8 |  Juni, kamu kyut!

————————————

.

.

.

.

.

.

.

Kalau dipikir-pikir, ini sudah tahun di mana orang tua yang mengatur masa depan anaknya disebut kolot. Bukan Dikta yang ngomong, tapi guru konseling mereka. Kalau pas jamannya R.A Kartini sih lumrah saja, yang mereka tau sekolah itu tidak usah tinggi-tinggi, yang penting tidak jadi babunya Belanda. Yang penting nikah sama pejabat dari keraton atau keluarga ningrat yang terhormat. Tapi inikan beda, ini eranya Nathan dan Salma, bukan Datuk Maringgih dan Siti Nurbaya! Sudah waktunya orang tua paham apa yang anak mereka butuhkan, bukan apa yang ego mereka inginkan.

Leo jadi langganan BK baru-baru ini. Dia sering konsul masalah universitas mana dan jurusan apa yang kiranya bisa dijadikan pilihan terbaik buat dia. Harusnya Nadesh melakukan hal yang serupa, tapi dia enggan kesana. Nilai dan dirinya itu ibarat bumi dan pluto. Jauh jaraknya.

Selain bisa mendapat pembelaan ia mau kemana, yang Leo suka ketika ia masuk ke ruangan konseling adalah, guru-guru di sana mengapresiasi hasil kerjanya. Mereka bilang Leo ini murid teladan, bisa jadi contoh buat adik-adik kelasnya. Terdengar haus akan perhatian, tapi itu fakta. Seberapapun hasil yang Leo berikan kepada Papa, kalau ia masih kalah sama Dikta, Leo akan kena tampar pula.

"Saran ibu sih, kalau kamu minatnya di akuntansi ya masuk ke sana saja. Rata-rata nilai kamu dari semester satu sudah cukup bagus, SNMPTN pun Ibu yakin kamu bisa masuk."

Leo tersenyum membalas pujian itu, "terimakasih Bu. Tapi Papa saya penginnya saya masuk ilmu hukum buat meneruskan pekerjaan Papa sebagai jaksa."

"Sekarang sudah nggak jaman anak harus nurut kepada orang tua untuk meraih cita-cita, Leo. Buat apa kamu kuliah hukum tapi nggak ada passion di sana sama sekali?"

"Terimakasih banyak Bu sarannya, saya permisi."

Leo beranjak, lalu dia menutup pintu kaca dengan hati-hati. Ternyata Dikta dan Nadesh menunggunya sebelum pergi ke kantin. Siang-siang begini paling enak beli es jeruk sambil makan bakso. Apalagi Nadesh yang sedang kesetanan gara-gara Karina balesin komen dia di instagram itu berbaik hati buat traktiran.

"Ini baru dibalesin komen kayak gini nih," Dikta mencibir. "Coba dibales perasannya kayak apa?"

Leo terkekeh, "warung Bang Mpin langsung dibeli, yakin dah gua."

Rumpang | haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang