7 | Cermin

2.1K 459 48
                                    

b a g i a n | 7 |  Cermin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

b a g i a n | 7 | Cermin

------------

.

.

.

.

.

.

.

Padahal tinggal beberapa meter lagi kakinya menapak halaman yang lama tidak ia pijak. Rumah yang menjadi tempat bernaung Dikta sejak ditinggal Mama dan dirinya. Namun entah bagaimana angin membawanya kembali, mengurungkan niat karena tak punya cukup nyali.

Dovan mengeratkan tasnya, jam segini harusnya siswa-siswi sekolah menengah sudah dalam perjalanan pulang. Alih-alih masuk ke rumah Haelmi, Dovan malah berharap bertemu adiknya di jalan saja.

Ia penasaran, seperti apa rupa bocah yang dulu masih ingusan dan gampang mengadu itu. Dovan berjalan pelan, niatnya untuk mengulur waktu, supaya pas sampai rumah dirinya punya alasan keluar. Tidak di kurung di kamar seharian.

Sedari tadi banyak lalu lalang yang lewat di kanan kiri Dovan. Sebagian besar dari SMA seberang yang terkenal dengan prestasi akademik dan organisasinya. Memang rumah Dovan terletak agak jauh dari pemukiman rumah Haelmi, tapi tidak apa-apa. Yang penting ada celah untuknya beristirahat dari lelaki menyeramkan itu.

"Iya, emang Juni ga jelas. Masa sama temen sebaya pake saya kamu. Berasa ngomong sama atasan anjir!" Leo dan Dikta tertawa mendengar gerutuan Nadesh.

Ada sebuah suara yang tak asing selepas tiga orang berjalan melalui Dovan, tiga anak sekolah berseragam serupa dan tinggi sama. Dovan memerhatikan mereka seksama.

"Dikta?"

Salah satu dari mereka berhenti. Ia menoleh ke belakang, mencari sumber suara yang memanggil namanya, namun Dovan tidak berani untuk sekadar menatap wajah adiknya saat ini. Dia merasa salah, merasa tidak pantas.

"Kenapa Dik?" Leo bertanya seraya berbalik pula. Diikuti Nadesh dan es lilin di tangannya.

"Kayak ada yang manggil," Dikta menjawab. Dia menatap figur anak lelaki lain yang mengenakan seragam berbeda, Dikta berjalan menghampirinya, namun dengan sigap Nadesh meraih lengannya.

"Gue nggak denger apa-apa, udah ah. Pulang, keburu capek."

Dikta mengedikkan badan, lalu berjalan melanjutkan langkahnya. Sementara Dovan, ia yang membeku akhirnya dapat seperti semula. Dia ternyata benar Dikta.

Iya, Dikta adiknya. Wajahnya masih sama.

Bagaimana reaksi anak itu nanti saat bertemu dengan dirinya? Ada beberapa kemungkinan yang terlintas di otak Dovan. Pertama, Dikta terharu sampai nangis dan terlarut dalam pilu membiru. Yang kedua marah karena Dovan kembalinya lama, menanti adalah hal yang paling dibenci Dikta setelah buah bery. Dan yang ketiga, biasa saja. Ini opsi yang menyebalkan, karena Dovan pasti sudah tidak diinginkan, Dikta terlihat bahagia berjalan bersama teman-temannya, tidak seperti Dovan yang sendirian kemana-mana.

Rumpang | haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang