15 | Alas Sepatu

1.6K 413 110
                                    

b a g i a n | 15 |  Alas Sepatu

———————————————

.

.

.

.

.

.

.

Waktu itu Loka enggan membuka suara.

Di sinilah ia dan Dikta berada. Duduk di warung tepi jalan hendak ke pasar, Haelmi minta dibelanjakan sayur dan bumbu dapur. Karena wanita itu mengeluh kalau pinggangnya lagi sakit, maka Loka yang berangkat. Tapi seumur-umur Loka nggak pernah masuk ke tempat besar itu, kalau urusan belanja biasanya Dikta yang mengantar.

"Mas keburu siang ntar abis yang mau dicari."

Loka masih duduk diam tanpa sepatah dua patah kata, tas jinjing yang dia bawa sesekali dimainkan. Dikta pengin tarik laki-laki itu buat berdiri dan masuk, daftar belanjaannya Halemi panjang, jadi butuh waktu yang lama pula buat mengitari pasar.

"Kok masih di sini, katanya mau cabut."

"Gak seneng aku di sini? Padahal aku lagi mempertimbangkan loh beneran mau pergi atau enggak."

Loka berdecak sebal, "kalau mau minggat tuh cepetan biar nggak jadi beban."

"Ya akunya lagi bingung Mas, kan nggak lucu kalau aku pindah ternyata Mama mau jual organ-organku ke pasar gelap."

"Kata lo Nindy orang baik."

Dikta mengangguk, "baik banget emang orangnya."

"Lha terus yang tadi apa?"

"Becanda doang, mana tega Mama jual aku. Aku nggak serius masalah itu, tapi buat urusan jadi pindah enggaknya kasih aku waktu."

"Buat?"

"Balas budi ke Mas sama Haelmi."

"Butuh seratus tahun buat membalas semua yang gue beri," Loka melipat tangannya. "Gimana? Masih mau balas budi."

Dikta cuma terkekeh sebentar. Maksud dari kalimat Loka barusan sudah kentara banget kalau dirinya enggan melepas Dikta sukarela. Entah alasannya yang mana, tapi mata Loka tidak bisa bohong kalau dia berharap Dikta nggak jadi pergi.

Ah masalahnya sederhana sekali, Dikta kan cuma keponakan. Kenapa sesulit ini untuk merelakan? Seandainya Dikta pergi, memang dampaknya kepada Loka apa? Bukankah seharusnya Loka senang karena dia nggak harus marah-marah tiap pagi?

"Bilang aja kalau enggak boleh, gengsian."

"Pergi ya pergi aja kenapa ribet."

"Ck! Mukanya nggak ikhlas gitu gimana aku bisa tenang? Katanya gedein aku itu ngabisin banyak duit kan? Apalagi abis ini aku kuliah, makin banyak pengeluaran. Mas masih yakin mau dibebanin sama aku? Aku tuh pergi biar Mas nggak perlu susah-susah rawat aku, biar Mama yang gantiin. Biar dia yang biayain, kenapa enggak boleh sih? Salah ya?"

Loka membenarkan dalam benaknya. Betul juga, kenapa harus menghalangi jalan anak itu untuk bahagia sih? Kenapa egois sekali? Melepaskan Dikta tidak seburuk seperti ditinggalkan Jovan dan Ayah. Dikta masih ada, dia bisa bertemu anak itu puluhan kali, ratusan kali kalau masih belum puas juga.

"Mas, tehnya."

"Makasih Bu," Dikta mengangguk sopan. "Lama deh nggak dibikin teh melati."

Loka melirik sekilas, dia tau Dikta suka sekali sama teh buatannya. Sampai-sampai tiap kali anak itu sakit, dia nggak perlu minum obat, dia cuma butuh teh melati hangat buatan Loka. Lelaki itu mengangkat gelas lain yang ada di sebelahnya.

Rumpang | haechanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang