Hampir satu bulan terlewat. Keduanya sama saja. Tidak ada yang berniat membuka suara untuk kembali berbicara walau hanya sekedar menyapa.
Pagi ini, entah bagaimana guru mengumumkan akan ada rapat dadakan. Alhasil semua jam pelajaran dikosongkan. Beberapa orang memilih ke kantin karena merasa ada kesempatan. Dan beberapa lainnya memilih tetap di kelas. Seperti halnya yang dilakukan Ariana saat ini. Melipat kedua tangan diatas meja lalu menidurkan kepalanya diatas lipatan tangan. Lantas memejamkan mata.
Hilma, Dara, dan Alifa datang setelah sebelumnya kembali dari kantin membeli sesuatu. Mereka mengerubungi Ariana. Dara lebih dulu menggoyang pelan lengan Ariana. Tetapi tidak juga mengangkat kepala untuk bangun.
"Kebo banget!" cibir Alifa lalu menempelkan seplastik bakso panasnya ke lengan Ariana. Sontak saja hal itu langsung membangunkan Ariana dengan pandangan tajam kearah ketiga temannya yang terkekeh tanpa dosa.
"Panas...," keluh Ariana yang tidak dibalas sedikitpun rasa kasian oleh ketiga teman yang naasnya ia sayangi itu. Mereka masih saja tertawa. Dara lebih dulu mengalihkan fokusnya dengan sebuah tepukan. Ariana memasang wajah kesal. "Apa?"
"Galak banget, sih." Dara manyun. Ariana cuek. Ia mengalihkan pandangan pada dua orang yang diam-diam menikmati makanan mereka masing-masing. Siapa lagi kalau bukan Hilma dan Alifa. Dengan iseng, Ariana ikut mencomot bakso Alifa dengan tusuk gigi. Sontak saja hal itu membuat Alifa sedikit menggeram kesal.
Persahabatan mereka sudah lama kembali membaik sejak Ariana dan Alifa saling menjelaskan satu sama lain waktu itu. Puncaknya, setelah Ariana mencoba melupakan kejadian satu bulan lalu dengan menghabiskan waktu bersama sahabatnya.
"Eh, ada kabar buruk." Ketiganya menatap Hilma. Dara dan Alifa membenarkannya. Berbeda dengan Ariana yang belum konek dengan pembahasan mereka saat ini.
"Kabar buruk apa?" tanya Ariana menatap ketiganya temannya bergantian.
Alifa berdecak, "Itu si mak lampir balik."
"Lah iya. Harusnya dia masuk kan beberapa minggu yang lalu. Tapi gegara malu kali jadi baru masuk sekarang." Dara menimpali. Ia mendengus pelan sebelum kembali melanjutkannya. "Dan pertanyaan gue, kenapa nggak sekalian pindah sekolah aja, sih? Biar gue nggak eneg liat muka dia."
"Jahat banget, Dar." Ariana berkomentar yang langsung mendapat tatapan sinis ketiga sahabatnya.
"Sekalinya punya temen baik, gini amat oon nya, Bunda." Hilma mengacak rambutnya frustasi. Menggeram tertahan menahan kekesalan untuk Ariana. Bisa-bisanya teman kesayangannya satu ini tetap baik padahal apa yang dilakukan Clarisa sangat tidak bisa dikatakan biasa saja.
Suara derap langkah kaki di depan kelas mengalihkan pandangan keempat cewek itu. Mereka langsung menghadap pada meja guru dimana disana berdiri salah satu teman kelas mereka dengan tumpukan buku di depannya. Beberapa di antaranya menerka apa yang akan dibagikan. Sisanya memilih acuh. Toh, nanti jika ia dapat namanya akan terpanggil.
"Ini tugas matematika minggu lalu," ucap cowok itu memberi tahu.
"Daripada mulut gue nanti berbuih gegara manggil lo pada. Ambil sendiri, gih." Setelah memberikan perintah, cowok itu mengambil bukunya sendiri dan berjalan kembali ke tempat duduknya.
Ariana menghela nafasnya pelan. Ia bangkit hendak mengambil bukunya. Namun, bahu kanannya ditepuk Dara.
"Titip," ucapnya.
"Gue juga." Alifa.
"Gue jelas iya dong, Ar." Hilma.
Ariana mengangguk. Ia berjalan maju ke meja guru untuk mengambil buku tugas miliknya dan juga ketiga temannya. Setelah mendapatkan bukunya, Ariana berbalik kembali ke mejanya. Tapi, sebelum itu tiba-tiba Ariana menghentikan langkahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARJUNA
Teen Fiction"Gue bakalan dateng ke acara sama dia." Arjuna menunjuk dengan jari telunjuknya kearah seorang siswi yang terlihat tengah sibuk menempelkan kertas pada majalah dinding. "Lo gila, Jun?" tanya Dewa tak percaya. "Hampir menyerupai lo," sahut Arjuna...