Oke guys, ini aku post ulang
Entah karena wp aku yang eror apa gimana tapi waktu diliat di profil bab 37 emang double. Giliran mau diedit bab 37 cuma satu. Alhasil aku coba apus, eh beneran sisa satu tapi gabisa di publish🤣
So, happy reading maap respost buat yang udah baca sebelumnya wkwk
***
Arjuna menatap kosong gundukan tanah di hadapannya. Jiwanya masih menolak mengetahui fakta jika bundanya telah tiada. Air mata tanpa diminta kembali jatuh. Meskipun kondisi Arjuna saat ini tidak separah tadi. Tapi tetap saja tidak ada alasan bagi Arjuna untuk menghentikan tangis.
"Juna nggak nyangka Bunda bakalan pergi secepat ini." Arjuna mengusap kasar air matanya. Kepalanya ia sandarkan pada batu nisan lantas memejamkan mata sembari membayangkan hari-hari nya selama ini yang ia lalui bersama sang bunda.
Arjuna kecil yang pada saat itu berusia lima tahun. Hidup hanya dengan sang bunda. Sebelumnya Arjuna memang dekat dengan ayahnya. Namun, setelah ayahnya pergi. Bundanya mencoba mengisi kekosongan itu agar Arjuna kecil tidak terus bersedih memikirkan sang ayah. Amira mencoba memberi pengertian. Walaupun pada saat itu Amira sendiri tidak tahu mengapa suaminya pamit pergi tanpa memberi tahu apa alasannya.
Dua tahun kemudian Panji kembali. Keadaan berbeda. Arjuna melihat sendiri bagaimana bundanya menangis menolak kedatangan sang ayah. Detik itu juga Arjuna mulai membenci ayahnya karena selalu datang hingga membuat bundanya menangis. Bahkan saat ayahnya menemuinya tanpa sepengetahuan sang bunda ia ikutan menolak.
Sampai sekarang, Arjuna belum tahu apa alasannya. Ia membuat persepsi sendiri jika ayahnya meninggalkan bundanya karena telah menikah lagi dan memiliki anak. Sebenarnya, Arjuna sendiri sedikit tidak yakin sebab setiap saat pun ayahnya selalu datang dan meminta kembali.
Persepsi itu juga membuat Arjuna merasa jika Panji telah mengkhianati Amira. Dan dari itu, Amira sering mengatakan jika dalam hubungan Arjuna jangan sampai berbuat khianat.
Selama tiga belas tahun, Panji memang mengawasi. Namun, tetap saja Arjuna hanya berdua dengan sang bunda. Dan kembali menatap fakta jika bundanya telah tiada seolah menjadi pukulan telak bagi Arjuna. Sungguh sampai detik ini Arjuna masih belum rela.
"Mendung. Kita pulang ya?"
Arjuna bukannya tidak menganggap adanya sang ayah yang ikut duduk di sampingnya. Namun, Arjuna masih belum bisa melupakan saat-saat bersama sang bunda. Bukan melupakan. Tepatnya mengikhlaskan. Sampai kapanpun Arjuna tidak akan pernah melupakan kenangannya bersama bunda.
Seperti yang telah dikatakan, mendung berubah menjadi rintik-rintik hujan. Panji mengelus punggungnya membujuk untuk ikut pulang. Tidak menolak, Arjuna bangkit berdiri. Dua orang pria itupun melangkah keluar dari pemakaman.
***
Besoknya, beberapa guru dan teman sekelas Arjuna datang untuk melayat. Karena rumah yang luasnya tidak begitu cukup, beberapa pelayat berada di halaman. Sedangkan yang di dalam hanya beberapa orang saja. Termasuk tiga teman Arjuna yang duduk di sebelah kanan kirinya.
"Yang sabar, Jun. Bunda lo orang baik. Gue yakin beliau bakalan ditempatin di posisi yang baik juga." Surya menepuk beberapa kali bahu Arjuna yang sekarang tengah menatap kosong kearah depan. Ia tahu bagaimana rasanya ditinggal orang tersayang. Apalagi sejak kecil Arjuna hanya bergantung pada bundanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARJUNA
Teen Fiction"Gue bakalan dateng ke acara sama dia." Arjuna menunjuk dengan jari telunjuknya kearah seorang siswi yang terlihat tengah sibuk menempelkan kertas pada majalah dinding. "Lo gila, Jun?" tanya Dewa tak percaya. "Hampir menyerupai lo," sahut Arjuna...